Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Asosiasi Pemasok Energi Mineral dan Batubara Indonesia (Aspebindo) mengajak negara-negara maju untuk berkolaborasi menciptakan ekosistem bisnis khususnya di industri energi.
Hal itu diutarakan Ketua Umum Aspebindo Anggawira dalam webinar bertajuk “Harga Batubara Semakin Membara, Bagaimana Prediksi di Tahun 2024?” pada Kamis (14/12/2023).
Ketua Umum Aspebindo Anggawira menyampaikan pentingnya kolaborasi berbagai stakeholder untuk menciptakan ekosistem bisnis dari berbagai kalangan.
Dia menilai negara-negara maju bisa mengoptimalkan sumber daya alam utamanya di bidang energi.
Baca juga: Kementerian Perindustrian: Industri Kreatif Sumbang Ekspor 17 Miliar Dolar AS
“Dengan semangat kolaborasi terus mendorong terciptanya ekosistem bisnis yang bisa saling menopang khususnya di sektor energi. Ini adalah salah satu upaya kami membuka komunikasi dari berbagai stakeholder karena negara maju adalah negara yang mampu mengoptimalkan sumber daya alamnya,” ungkapnya.
Webinar yang diselenggarakan dalam rangka menuju Indonesia Mineral and Energy Conference (IMEC) 2023 ini menghadirkan pelaku usaha, pengamat energi, dan juga pengguna, yaitu CEO Nexis Energi Investama (Bomba Grup Mining Holding) Muhammad Puri Andamas, Kepala Peneliti INDEF Berly Martawardaya, General Manager Marketing PT Kaltim Prima Coal (KPC) Rahmad Desmi Fajar, dan Sekretaris Jenderal Asosiasi Semen Indonesia, Ari Wimbardi Wirawan.
Muhammad Puri Andamas selaku pelaku usaha, dalam paparannya menyampaikan penjualan batubara lokal lebih kecil dari penjualan ekspor, sehingga dibutuhkan langkah dan strategi untuk meningkatkan harga lokal.
“Signifikansi penjualan batubara kita di lokal tidak jauh lebih baik dari luar, untuk ekspor. Sehingga kita perlu langkah-langkah untuk menyusun strategi agar konsumsi meningkat dan harga demand bisa kompetitif dengan ekspor,” ujarnya.
Lebih lanjut, Rahmad Desmi Fajar mengungkapkan hal penting selain dari dukungan pemerintah untuk industri batubara yaitu produsen disiplin.
“Saya kira yang terpenting selain dari dukungan pemerintah yang kondusif untuk industri batubara adalah produsen disiplin. Jadi, ketika tidak disiplin dalam produksi tanpa memperhatikan perkembangan harga dalam jangka waktu pendek harga akan terus meluncur jatuh. Sehingga para produsen batubara dapat survive dengan kondisi tersebut,” tuturnya.
Hal tersebut, disorot oleh Ari Wimbardi Wirawan selaku pengguna, beliau mengharapkan kestabilan harga dan suplay pada produsen batubara sehingga tidak terjadi kelangkaan di pasar.
“Kami sadar memang untuk ekspor lebih tinggi harganya, tentu lebih menguntungkan bagi para suplayer batubara untuk ekspor marketnya daripada domestik marketnya. Tapi industri semen juga merupakan suatu industri yang dibutuhkan masyarakat banyak,” ujarnya.
Berly Martawadaya selaku pengamat, memaparkan beberapa faktor yang memengaruhi harga batubara, salah satunya adalah geopolitik stabil with hot spot di Gaza dan Ukraina.
“Produksi meningkat, demand menurun, exces dan penned-up menurun, decoupling and re-shorting from China continue, geopolitik stabil with hot spot di Gaza dan Ukraina, transisi ke renewable masih fase awal, dan prediksi harga coal 2024: USD 110-130,” tegasnya.