TRIBUNNEWS.COM - Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan sebagai peraturan pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 saat ini masih menjadi polemik dan dinilai akan berdampak pada beberapa sektor jika disahkan.
Regulasi yang diusulkan tersebut memunculkan perdebatan mengenai dampaknya pada industri yang terkait dengan pertembakauan di Indonesia. Sementara ada pandangan bahwa regulasi ini penting untuk kesehatan masyarakat, ada juga kekhawatiran terkait dampaknya terhadap ekonomi dan lapangan kerja.
Industri hasil tembakau di Indonesia tidak hanya berperan dalam produksi rokok, namun juga berdampak signifikan pada beberapa sektor terkait. Beberapa pihak menyatakan bahwa regulasi ini dapat memiliki dampak negatif terhadap sektor-sektor dan industri, mulai dari pertanian, ritel, tenaga kerja, kreatif, media, dan periklanan.
Misalnya, industri hasil tembakau memberikan kontribusi besar pada sektor pertanian. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, produksi tembakau Indonesia mencapai ratusan ribu ton setiap tahunnya. Hal ini terlihat dari produksi tembakau Indonesia mencapai angka 261.439 ton di tahun 2020 dan 261.011 ton pada 2021.
Hasil produksi tembakau ini merupakan kerja keras para petani sebagai motor penggerak sektor pertanian. Berdasarkan data, Jawa timur merupakan provinsi yang paling banyak memproduksi tembakau, yakni sebanyak 136.069 ton pada 2020, disusul oleh Jawa Tengah dengan produksi sebesar 55.549 ton, dan Nusa tenggara Barat sebesar 52.655 ton.
Lebih lanjut, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sepanjang tahun 2022 Indonesia memproduksi tembakau sebanyak 225,7 ribu ton dengan sekitar 99,6 persen produksi tembakau nasional berasal dari perkebunan yang dikelola masyarakat dengan skala usaha kecil atau usaha rumah tangga.
Menurut Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Provinsi Nusa Tenggara Barat Sahminudin, RPP Kesehatan, yang berpotensi menurunkan produktivitas produk tembakau, sangat merugikan mata pencaharian para petani tembakau di daerah.
“RPP Kesehatan hanya melihat masalah tembakau dan produk turunannya sebagai masalah kesehatan semata, dan tidak memandang dampaknya dari sudut pandang ekonomi, perdagangan dan sosial,” katanya.
Perwakilan APTI Jawa Tengah Nurtantio Wisnu Brata di sisi lain menegaskan bahwa pemerintah bisa lebih bijaksana memandang urusan pertembakauan, dengan mengkaji ulang atau mengeluarkan pasal-pasal tembakau dari RPP Kesehatan.
"Kalau RPP ini disahkan menjadi PP, maka akan membawa dampak besar pada ekonomi petani tembakau. Kalau begini, maka pemerintah akan berhadapan dengan petani tembakau," pungkas Wisnu.
Industri tembakau ciptakan banyak lapangan pekerjaan
Tingginya produksi tembakau merupakan buah kerja keras para petani. Tercatat, lebih dari 2 juta petani tembakau yang mengandalkan pertanian tembakau sebagai sumber utama mata pencaharian mereka.
Selain petani, industri hasil tembakau juga turut berkontribusi dalam menciptakan lapangan pekerjaan lainnya. Misalnya, pabrik pengolahan hasil tembakau, pabrik rokok, dan sektor terkait lainnya memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi lokal.
Kementerian Perindustrian mencatat, total tenaga kerja yang diserap oleh sektor industri rokok sebanyak 5,98 juta orang, terdiri dari 4,28 juta adalah pekerja di sektor manufaktur dan distribusi, serta sisanya 1,7 juta bekerja di sektor perkebunan.
Secara keseluruhan, menurut Kemenperin, industri rokok di dalam negeri telah meningkatkan nilai tambah dari bahan baku lokal berupa hasil perkebunan seperti tembakau dan cengkih. Di samping itu, IHT dinilai sebagai sektor padat karya dan berorientasi ekspor sehingga mampu menopang pertumbuhan ekonomi.
RPP Kesehatan berpotensi berdampak pada dunia kreatif
Industri rokok telah menjadi penopang perkembangan dunia kreatif, media, dan periklanan. RPP Kesehatan dinilai akan berdampak terhadap pengurangan karyawan di industri kreatif apabila disahkan.
Menurut Ketua Umum Indonesia Digital Association Dian Gemiano menjelaskan dampak dari aturan tersebut jika disahkan menjadi Peraturan Pemerintah akan menyebabkan kerugian revenue mencapai 20 persen lantaran larangan aturan iklan rokok di media digital. "Angka sebesar itu, bisa mempengaruhi bottom line. Ada potensi pengurangan karyawan, meski itu adalah langkah paling terakhir," ujarnya.
Tak hanya itu, hal ini juga akan menyebabkan multiplier effect. Namun demikian, Kementerian Kesehatan tidak pernah mengajak diskusi para pelaku industri terdampak aturan tersebut.
Dalam RPP tentang Kesehatan dijelaskan bahwa industri tembakau dilarang mengiklankan produk tembakau pada media online, aplikasi elektronik, hingga media sosial. Aturan tersebut juga memperketat iklan rokok di media penyiaran seperti televisi dan radio dengan hanya membatasi jam tayang iklan rokok dari yang sebelumnya pada pukul 21.30 sampai 05.00 pagi menjadi 23.00 sampai 03.00.
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) juga menyampaikan pentingnya melibatkan semua pihak. Direktur Akses Nonperbankan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Saifullah Agam menerangkan, ketika membuat suatu regulasi pemerintah harus melihat secara menyeluruh, dibahas seluruh stakeholder atau pemangku kepentingan terkait.
"Bukan hanya dampak sosial atau kesehatan, tapi dampak pembatasan terhadap industri lain," ujarnya.
Maka itu, dalam perdebatan mengenai RPP Kesehatan, penting bagi pemerintah dan para pemangku kepentingan untuk menimbang baik dampak kesehatan masyarakat maupun dampak ekonomi sektor-sektor terkait, guna mencapai keseimbangan yang baik untuk kemajuan Indonesia.