Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koordinator Divisi Advokasi Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), Guruh Riyanto, menyebut pemerintah belum melibatkan pihaknya dalam penyusunan rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang kesehatan yang merupakan aturan pelaksana Undang-Undang (UU) Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023.
Padahal, di dalam RPP Kesehatan terdapat sejumlah pasal terkait larangan iklan, promosi, dan sponsorship bagi produk tembakau yang disinyalir akan berdampak negatif pada penggiat dan pekerja media serta industri kreatif.
“Secara organisasi, kami belum terlibat terkait perancangannya. Kami juga belum membaca dan mempelajari soal (aturan tembakau di) RPP Kesehatan,” kata Guruh kepada wartawan, Rabu (19/6/2024).
Dari 16 subsektor ekonomi kreatif, setidaknya terdapat 6 subsektor yang terkait dengan industri tembakau dari aspek periklanan hingga pembuatan materi konten kreatif.
Adapun secara kolektif, 6 subsektor ini terancam oleh pasal pelarangan iklan dalam RPP Kesehatan, yang merupakan ladang mata pencaharian bagi 725 ribu pekerja di industri media dan kreatif di Indonesia.
Sementara sebelumnya, Ketua Dewan Periklanan Indonesia (DPI), M. Rafiq, menyatakan menolak pasal-pasal yang terkait pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship bagi produk tembakau dalam RPP Kesehatan.
Dia juga menyayangkan sikap pemerintah yang tidak melibatkan industri periklanan maupun industri kreatif sebagai pemangku kepentingan yang terdampak dalam merancang aturan dan pasal-pasal yang identik dengan pelarangan tersebut.
“Kami sudah bersurat berkali-kali kepada pemerintah sebagai inisiator regulasi, namun tidak mendapatkan respons apa pun hingga saat ini,” katanya.
Rafiq menjelaskan saat ini iklan rokok sudah diatur melalui sejumlah regulasi untuk memastikan komunikasi yang ditujukan oleh produsen menjangkau konsumen dewasa (18 tahun ke atas), seperti pada PP Nomor 109 Tahun 2012.
Sementara itu, ketentuan tentang iklan rokok juga diatur dalam Etika Pariwara Indonesia (EPI), di mana keduanya telah dipatuhi secara disiplin oleh pelaku industri iklan dan kreatif.
Baca juga: Kenaikan Cukai Rokok Dinilai Turunkan Produktivitas Industri Hasil Tembakau
Sekretaris Jenderal Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Gilang Iskandar, mengatakan sejumlah aturan pelarangan terkait iklan, promosi, dan sponsorship produk tembakau tersebut akan berdampak langsung terhadap keberlangsungan industri media, periklanan, dan kreatif di Tanah Air, termasuk sektor pertelevisian.
Pasalnya, iklan rokok telah menjadi kontributor utama pendapatan iklan media. Gilang menilai rencana pelarangan iklan produk tembakau akan mempengaruhi usaha media dan periklanan.
Ia pun memperkirakan adanya potensi penurunan yang dapat terjadi jika pembatasan dan penyempitan iklan rokok diberlakukan, maka industri media dan periklanan dapat kehilangan pendapatan hingga Rp9 triliun.
“Perlu dipahami bahwa iklan juga akan menentukan kualitas konten dari media penyiaran. Maka, dampak kerugian yang akan ditimbulkan dengan hilangnya Rp9,1 triliun ini tidak hanya berhenti pada kerugian media penyiaran, namun juga mempengaruhi kualitas siaran hingga kemampuan media memperkerjakan para karyawannya,” kata Gilang.
Sedangkan dari sisi industri kreatif, sebagai industri yang berpotensi terdampak cukup besar dari pembatasan produk tembakau, Sekretaris Jenderal Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI), Emil Mahyudin, menyatakan sebagian besar bahkan hampir seluruh kegiatan konser dan festival musik tidak cukup hanya mengandalkan dari penjualan tiket saja.
Namun, salah satunya juga mengandalkan pemasukan sponsor. Dalam hal ini dukungan terbesar berasal dari industri tembakau.
"Di Indonesia, banyak sekali event yang semuanya terdapat kontribusi dari industri tembakau. Bayangkan kalau kita kehilangan pendapatannya, apalagi industri ini baru saja terdampak oleh Covid-19 dan baru mau pulih kembali," katanya.