TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Bidang Ekonomi dan Investasi PB Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Ramadhan, mengatakan rencana pemerintah yang akan memberlakukan kebijakan penambahan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen perlu dikaji ulang.
Pasalnya kebijakan menaikkan tarif PPN tersebut dianggap terlalu memberatkan rakyat.
“Jadi dalam kondisi ekonomi belum sepenuhnya stabil seperti saat ini, tidak pantas pemerintah menggenjot penerimaan negara melalui PPN 12 persen,” kata Ramadhan dalam keteranganya, Jumat (27/12/2024).
Ketimbang melakoni cara mudah meningkatkan penerimaan negara dengan menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen yang dipastikan menyakiti hati rakyat.
Ramadhan menyarankan pemerintah agar kreatif mencari cara lain yang lebih manusiawi tanpa harus membebani keuangan rakyat kecil.
“Pemerintah perlu realistis dalam menerapkan kebijakan. PPN 12 persen ini perlu ditinjau lebih mendalam dampak dan risikonya. Sebaiknya pemerintah tunda dulu kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen,” bebernya.
Rencana pemerintah menaikkan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen pada Januari 2025 didasarkan pada UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Tujuannya untuk meningkatkan penerimaan negara yang ditarget mencapai Rp 100 triliun per tahun.
Ramadhan mengatakan kebijakan kenaikan PPN oleh pemerintah tampaknya kurang tepat dilakukan di tengah masa pemulihan ekonomi yang masih rapuh.
Selain itu tentunya kebijakan PPN 12 persen akan sangat menyakiti hati rakyat Indonesia.
Sebelumnya, Pemerintah memutuskan untuk tetap memberlakukan kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen yang mulai berlaku pada 1 Januari 2024.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan, kebijakan tarif PPN 12 persen ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
“Sesuai dengan amanat UU HPP dengan jadwal yang ditentukan tarif PPN akan naik 12% per 1 Januari 2025,” tutur Airlangga dalam konferensi pers, Senin (16/12).
Airlangga menyampaikan, untuk menjaga daya beli masyarakat pemerintah memberikan stimulus kebijakan ekonomi, yakni bagi rumah tangga berpendapatan rendah PPN ditanggung pemerintah 1%, atau hanya dikenakan tarif 11% saja.
Barang-barang pokok yang dikenakan tarif 11% yakni, minyak goreng dengan kemasan Minyakita, tepung terigu dan gula industri.
“Jadi stimulus ini untuk menjaga daya beli masyarakat terutama untuk kebutuhan pokok dan secara khusus gula industri yang menopang industri pengolahan makanan dan minuman yang peranannya terhadap industri pengolahan cukup tinggi yakni 36,3%, juga tetap 11% (tarif PPN),” ungkapnya.
Adapun Airlangga menyampaikan, pemerintah juga menerapkan pengecualian objek PPN.
Beberapa barang dan jasa tertentu yang diberikan fasilitas bebas PPN meliputi:
- Barang kebutuhan pokok: beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging
Telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, dan gula konsumsi - Jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa sosial, jasa asuransi, jasa keuangan, jasa angkutan umum, dan jasa tenaga kerja
- Vaksin, buku pelajaran dan kitab suci
- Air bersih (termasuk biaya sambung/pasang dan biaya beban tetap)
- Listrik (kecuali untuk rumah tangga dengan daya >6600 VA)
- Rusun sederhana, rusunami, RS, dan RSS
- Jasa konstruksi untuk rumah ibadah dan jasa konstruksi untuk bencana nasional
- Mesin, hasil kelautan perikanan, ternak, bibit/benih, pakan ternak, pakan ikan, bahan pakan, jangat dan kulit mentah, bahan baku kerajinan perak
- Minyak bumi, gas bumi (gas melalui pipa, LNG dan CNG) dan panas bumi
- Emas batangan dan emas granula
- Senjata/alutsista dan alat foto udara
“Barang-barang yang dibutuhkan masyarakat PPN diberikan fasilitas atau 0%. Jadi barang seperti kebutuhan pokok seperti beras, daging, ikan telur, sayur, susu, jasa pendidikan, angkutan umum, seluruhnya bebas PPN,” terangnya.