Ia melanjutkan, hilirisasi memang berhasil menaikkan nilai ekspor secara drastis. Pada 2018 nilai ekspor biji nikel hanya Rp15 triliun.
Pada 2022 nilai ekspor nikel setelah menjadi produk setengah jadi meningkat menjadi Rp360 triliun.
Namun, nilai tambah hilirisasi nikel masih rendah, diperkirakan sekitar 30 persen dari nilai tambah yang dihasilkan hilirisasi, 70 persen nilai tambah dinikmati oleh investor China.
Lapangan pekerjaan baru yang diciptakan hilirisasi tidak begitu banyak lantaran investor mengusung tenaga kerja dari China. Angka kemiskinan di Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara justru meningkat.
"Rendahnya lapangan pekerjaan baru dan tingginya angka kemiskinan itu mengindikasikan bahwa nilai tambah hilirisasi tidak dinikmati masyarakat setempat," papar Fahmy.
"Ironisnya, masyarakat setempat justru menanggung dampak kerusakan lingkungan akut dari pertambangan dan smelter nikel. Calon pemimpin seharusnya menyadari bahwa hilirisasi bukan Lampu Aladin yang bisa menjadi solusi berbagai permasalahan bangsa," pungkasnya.