TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dua menteri Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendapat cecaran pertanyaan dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkait melonjaknya harga beras.
Dua menteri tersebut yaitu Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan dan Menteri Pertanian Amran Sulaiman.
Saat rapat kerja dengan Komisi VI DPR, Zulkifli Hasan dikritik Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDIP I Nyoman Parta.
Ia menyebut, para pejabat negara, terutama Mendag, tidak bisa terus-menerus menjadikan alam sebagai penyebab dari kenaikan harga beras.
Baca juga: Bapanas: Tidak Ada Rencana Perpanjang Relaksasi HET Beras Premium
Menurutnya, seharusnya permasalahan iklim ini sudah bisa diprediksi oleh pemerintah.
"Sesungguhnya kondisi itu sudah bisa diprediksi karena Indonesia ada di belahan tropis, memiliki iklim tropis. Hujan cukup, sinar matahari cukup. Sehingga, tidak bisa setiap ada kondisi seperti ini, seluruh pejabat terutama pak menteri, alasannya el nino. Itu berulang-ulang," kata Parta di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (13/3/2024).
Menurutnya, menyalahkan alam adalah perbuatan yang paling mudah. Bahkan, ia menyebut orang yang tidak tamat SD sekalipun bisa beralasan seperti itu.
"Menyalahkan alam adalah perbuatan dan sikap yang paling mudah. Paling mudah banget. Orang tidak tamat SD pun bisa itu," ujar Parta.
"Kalau sudah rusak, salahkan alam. Kalau sudah tidak panen, salahkan banjir. Gampang banget. Lebih lanjut lagi salahkan takdir. Jadi, enggak ada gunanya kita ini gagah-gagahan," sambungnya.
El Nino Penyebab Langka dan Mahalnya Beras
Sebelumnya, Zulkifli menjelaskan bahwa kenaikan harga beras merupakan akibat dari El Nino atau musim kemarau yang panjang, sehingga mengakibatkan musim tanamnya bergeser.
Seharusnya pada Januari dan Februari sudah panen raya, tetapi akhirnya mundur. Kemungkinan, panen raya akan dilakukan pada April dan Mei.
Akibat musim tanam yang bergeser itu, pasokan beras lokal pun berkurang.
"Jadi musim tanamnya bergeser, panennya bergeser. Tidak hanya [terjadi pada] kita. Ini seluruh dunia," ujar Zulkifli.
Ia menegaskan, harga beras yang tinggi tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi terjadi di tingkat internasional. Hal ini diakibatkan oleh sejumlah faktor, salah satunya keputusan India menyetop ekspor.
"Harga beras tinggi tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi rata-rata harga beras di internasional juga tinggi. Larangan ekspor beras India turut jadi pemicu," katanya
"Beras Thailand per Februari 2024 sebesar 610 USD per ton, naik 32 persen dari periode sama tahun lalu," lanjutnya.
Guna menyikapi kenaikan harga beras, Zulhas mengatakan pemerintah melalui Badan Pangan Nasional telah memberikan relaksasi Harga Eceran Tertinggi (HET) beras premium sebesar Rp 1.000 di setiap wilayah RI mulai 10 hingga 23 Maret 2024.
Satgas Pangan Polri diharapkan dapat melakukan pengawasan secara berkala terhadap implementasi relakasasi HET beras premium yang dimaksud.
Selain itu, pemerintah melakukan penguatan koordinasi pemerintah daerah besama Perum Bulog dalam percepatan penyaluran SPHP Januari-Maret 2024 sesuai target 250 ribu ton per bulan.
Lalu, percepatan realisasi impor untuk pemenuhan stok Cadangan Beras Pemerintah menjelang Lebaran 2024 dan pengawasan intensif melalui pemantauan stok beras di penggilingan, distributor, dan ritel modern.
Beras Premium Tak Perlu HET
Wakil Ketua Komisi VI, DPR RI Sarmuji menilai HET tidak seharusnya diterapkan pada beras premium.
Pasalnya konsumen yang membeli beras premium rata-rata adalah masyarakat kelas menengah ke atas.
"Kalau kalangan menengah atas, jangankan beras harga Rp 16.000-Rp 17.000 per kg, beras porang dengan harga Rp 90.000 per kg mereka juga beli," kata Sarmuji.
Menurut dia, penerapan HET beras ke depan perlu dievaluasi agar petani juga memiliki ruang untuk menikmati harga jual beras dengan baik.
Selain itu, pembebasan HET beras premium juga bmisa meningkatkan inovasi di industri beras. Lantaran, penjualan tidak diatur oleh pemerintah tapi dibebaskan ke pasar.
"Toh yang beli juga kalangan atas, HET beras premium menurut saya perlu di evaluasi. Kalau beras medium silahkan menggunakan HET tapi yang rasional," kata dia.
Baru-baru ini Badan Pangan Nasional (Bapanas) memutuskan menerapkan relaksasi HET beras premium menjadi Rp 14.900 per kg-Rp 15.800 per kg dari sebelumnya Rp 13.900 per kg-Rp 14.800 per kg.
Relaksasi ini akan berlaku selama dua minggu periode 10-23 Maret 2024. Selanjutnya, HET beras premium akan kembali mengacu pada Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 7 Tahun 2023.
Dituduh Berbohong
Di ruang rapat lain, Anggota Komisi IV DPR RI Johan Rosihan tercengang melihat laporan produksi beras dari Kementerian Pertanian (Kementan).
"Memang tercengang melihat laporan kita punya kelebihan produksi," ujar Johan saat rapat kerja Komisi IV DPR dengan Kementerian Pertanian di Jakarta, Rabu (13/3/2024).
Menurut Johan, hal tersebut berbanding terbalik dengan kondisi di lapangan. Dia mengatakan, melakukan kunjung kerja ke Gudang Bulog di Yogyakarta.
"Melihat gudang-gudang bulog kosong semuanya. Di mana kelebihan itu? Di mana ditaruh kelebihan produksi itu kalau ada?" tanya Johan.
Johan menerangkan, saat kunjungan tersebut, Bulog menjelaskan bahwa beras impor dibagikan ke penggilingan-penggilingan padi UMKM untuk dikemas ulang menjadi beras 5 kilogram.
"Kenapa kita berani menyampaikan ada kelebihan produksi. Nah ini coba disampaikan, kalau ada niat bohong berhenti dulu ini bulan puasa. Kalau ada niat bohong tahan dulu. Kita ini ngurus rakyat," terang Johan.
Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS) soal produksi beras nasional pada 2023 mencapai 31,10 juta ton, turun sebanyak 440 ribu ton atau 1,39 persen dibandingkan dengan 2022 yang mencapai sebesar 31,54 juta ton.
Sebelumnya, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengakui penurunan luas tanam padi menjadi sebab penuran produksi padi.
Baca juga: Bulog Kesulitan Serap Beras Dalam Negeri Imbas Harga Gabah Petani Masih di Atas HPP
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) luas tanam padi selama Oktober 2023-Feburasi 2024 hanya mencapai 5,49 juta hektar atau turun 26,2 persen dari periode yang sama selama tahun 2015-2019 dengan total luas tanam padi mencapai 7,44 juta hektar.
"Penurunan luas tanam ini sangat berpengaruhi luas pangan yang berdampak pada luasan produksi padi yang dihasilkan," tutur Amran.
Selain itu, penuruan produksi padi juga disebabkan karena berkurangnya alokasi pupuk subsidi yang mencapai 50 persen menjadi 4,7 juta ton pada tahun ini.
Hal ini menyebabkan sebanyak 30 juta petani tidak bisa mengakses pupuk khususnya bagi Lembaga Masyarat Desa Hutan (LMDH).
Namun, Amran menjamin kebutuhan beras pada bulan Maret, April dan Mei nanti masih tercukupi dari stok panen raya yang sedang berlangsung hari ini.
"Kami memastikan kebutuhan beras bulan Maret s.d Mei 2024 dalam kondisi aman sehingga masyarakat tidak perlu khawatir kekeurangan pangan (beras) selama Ramadan dan Idulfitri," kata Amran.