News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tak Hanya Bisnis, Sate Kere Yu Tari Tumbuh jadi Pelestari Makanan Penuh Histori Kota Solo

Penulis: Imam Saputro
Editor: Tiara Shelavie
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Lapak Sate Kere Yu Tari di Pasar Takjil Ramadhan 2024 Solo. Kini Sate Kere Yu Tari tengah mengembangkan cabang ketiga di Kota Solo

Sejarawan Heri Priyatmoko ketika berbincang dengan Tribunnews.com, awal Maret 2024 menyebut sate kere merupakan bentuk perlawanan kaum bawah terhadap bangsawan dan orang kaya dalam budaya feodal Kota Solo.

“Istilah kere yang berarti gelandangan atau miskin jadi salah satu pencitraan ke kalangan bawah yang terlalu sayang untuk membeli setusuk sate daging, alasan tersebut jadi awal kreativitas untuk mengolah jeroan dan tempe gembus,” kata Heri.

Sate kere, kata Heri, juga merupakan perwujudan perlawanan dari kalangan bawah kepada kalangan bangsawan dalam budaya feodal.

“Di masa kolonial, bahan sate kere dijauhi pembesar Eropa dan kaum bangsawan, di meja hidangan di rumah aristokrat dan tuan kulit putih jika ditemukan gembus dan jeroan adalah suatu pantangan,” jelasnya.

Sejatinya sate kere merupakan potret budaya tanding (counter-culture), yang jika dihayati secara mendalam, pengertian budaya tanding dalam konteks kuliner bisa memunculkan sifat kompetisi yang sehat dan kreatif. 

“Pihak wong cilik yang merasa kalah dalam urusan makan, tidak lantas frustrasi dan ngamuk, namun membalasnya dengan menciptakan kreasi baru, jadilah sate kere yang rasanya juga ternyata enak,” kata dia.

Namun kini kuliner yang dianggap ‘murahan’ ini naik daun. 

Sate yang semula merupakan cerminan dari kelas bawah untuk menyaingi sate daging kini telah menjadi makanan sate bagi semua kalangan.

“Sekarang jadi makanan yang sering dicari wisatawan, mungkin karena keunikannya, selain rasanya memang enak juga,” terangnya.

Heri mengatakan sate kere masih bisa ditemukan hingga zaman kiwari karena diwariskan turun temurun dan kalangan yang menyantapnya masih terus ada.

“Pewaris hidangan ini di garda terdepan ada mbok-mbok di rumah memasak untuk anak cucunya, juga ada para pedagang kuliner tradisional,” beber Heri.

Menurut Heri, para penjual kuliner tradisional ini selain ada di aspek penjualan, pedagang inilah yang menyimpan pengetahuan soal resep makanan tersebut.

“Aspek lain yang pokok ialah proses regenerasi produsen bapak ke anak ke anaknya lagi dan seterusnya, itu sudah mampu mereka lewati,” ujar Heri yang juga mengajar sejarah di  Universitas Sanata Dharma, Jogja ini.

Satu di antara pelestari makanan tradisional ini adalah Yu Tari, penjual sate kere yang sudah berjualan puluhan tahun.

Halaman
1234
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini