Semakin ke sini, jumlah pesanan semakin lesu. Sumardi memprediksi persaingan perdagangan online mennjadi penyebabnya.
Harga pasar bahkan terbanting drastis, membuat pengrajin geleng-geleng.
Digitalisasi berupa peran vital media sosial bakal menjadi tantangan pengrajin hingga distributor gitar ke depan untuk bersaing dengan pasar.
Di sisi lain, pengrajin tetap mempretahankan kualitas baik produksi gitar bakal menjadi sisi positif yang terus dicari oleh peminat dan toko-toko alat musik langganan.
"Ini menjadi tantangan kami pengrajin gitar Desa Ngrombo untuk bertahan kerajinan gitar menjadi UMKM jaya, apalagi menyandang klaster gitar tentu harus dilestarikan," papar dia.
Mau KUR, Ingat BRI
Yang namanya berwirausaha pasti mengalami sejumlah kendala, termasuk modal.
Hal ini menjadi curahan hati seorang Sumardi kepada Tribunnews kala itu.
Pinjaman modal pun telah ada pada tahun 2000-an. Hanya saja Sumardi bercerita, saat itu ia menumpang nama pengrajin lain yang hendak melakukan pinjaman lantaran permasalahan persyaratan.
"KUR BRI baru ada sekitar 2000-an, itu pun sistemnya tak semodern sekarang ya. Dulu jaminan benar-benar dinilai. Sekarang proses lebih mudah," terangnya.
Sebagai pengrajin gitar, Sumardi mengaku, pinjaman modal melalui pengajuan Kredit Usaha Rakyat (KUR) BRI sangatlah membantu tak hanya untuknya, tapi mayoritas pengrajin gitar di desanya.
Hal ini lantaran pengrajin gitar membutuhkan dana lebih untuk menyiapkan persediaan bahan dan bakal gitar.
"Kalau seminggu ini ada pesanan 50 gitar, kita harus stock tiga kali lipatnya, jadi 150 gitar. Biar apa? Biar perputaran pengiriman terus berlanjut dan penghasilan tetap ada," ungkap bapak empat anak ini.
Lantas, pinjaman yang ia ajukan sebesar Rp 20 juta menurutnya cukup untuk melanjutkan roda ekonomi industri gitar miliknya dan kehidupan sehari-hari.
Sebagai ketua paguyuban, Sumardi juga berperan penting tak hanya dalam kegiatan memproduksi gitar.