News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Rupiah Terpuruk

Rupiah Terkapar Dekati Zaman Reformasi, BI Segera Bertindak

Editor: Hendra Gunawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi uang rupiah
  • Jaga Agar Nilai Tukar Rupiah Tidak Terus Melemah
  • Pakar Ingatkan Pemerintah Agar Longgarkan Kebijakan Fiskal

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus melemah. Pada perdagangan kemarin mata uang rupiah ditutup di level Rp 16.220 per dolar Amerika Serikat (AS).

Angka tersebut terus mendekati kurs seperti pada zaman reformasi tahun 1998 saat kejatuhan era Presiden Soeharto. Pada Juni 1998, Rupiah jatuh pada Rp 16.800/dolar AS.

"Untuk perdagangan besok, mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup menguat di rentang Rp16.170 per USD hingga Rp16.250 per USD," ujar Analis pasar uang Ibrahim Assuaibi, Rabu (17/4/2024).

Ibrahim menerangkan, komentar Ketua The Fed, Jerome Powell membuat para pedagang semakin mengurangi ekspektasi penurunan suku bunga pada bulan Juni, dengan alat CME Fedwatch yang kini menunjukkan peluang 79,2 persen bahwa bank sentral akan mempertahankan suku bunga tetap stabil.

Baca juga: Pelemahan Rupiah Hingga Tembus Rp16.000 per Dolar AS Bikin Untung Toyota? Ini Kata Wakil Dirut TMMIN

Alat ini juga menunjukkan para pedagang memperkirakan peluang kecil kenaikan 25 basis poin.

Lebih banyak pejabat Fed yang akan menyampaikan pidatonya dalam beberapa hari mendatang, dan kemungkinan besar akan mengulangi retorika Powell, mengingat bank sentral telah memberi isyarat bahwa setiap penurunan suku bunga akan dipandu oleh inflasi.

"Selain itu, para pedagang waspada terhadap kemungkinan tindakan intervensi oleh pemerintah Jepang, terutama karena beberapa pejabat memperingatkan dalam beberapa pekan terakhir bahwa mereka tidak akan mengesampingkan tindakan apa pun untuk membendung pelemahan yen," tulis analisisnya.

Dari dalam negeri, lanjut Ibrahim Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) kembali mempertahankan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2024 di angka 5 persen.

IMF tak mengubah proyeksinya terhadap ekonomi Indonesia di angka 5 persen. Setidaknya IMF telah konsisten terhadap prospek ekonomi Tanah Air dalam tiga laporan berturut-turut. Meski mempertahankan prospek ekonomi tahun ini, namun IMF terpantau mengerek proyeksi ekonomi RI pada 2025 menjadi 5,1 persen.

"Sebelumnya, IMF secara kompak memberikan angka 5 persen terhadap proyeksi ekonomi RI, baik pada 2023, 2024, maupun 2025," imbuh Ibrahim.

Baca juga: Nilai Tukar Rupiah Melemah, Gubernur Bank Indonesia Bakal Intervensi

Hal itu sejalan dengan IMF menyebutkan bahwa negara berkembang yang tergabung dalam G20, salah satunya Indonesia, memegang peran penting bagi aktivitas ekonomi global. Indonesia sebagai produsen utama terbesar untuk transisi energi, yakni nikel.

Lain IMF, lain pula Pemerintah. Perekonomian Indonesia di tahun 2024 optimis akan lebih tinggi dibandingkan proyeksi IMF, yakni di angka 5,2 persen, kemudian pada tahun 2025 diproyeksikan mencapai kisaran 5,3 persen-5,6 persen.

Optimisme pemerintah terhadap proyeksi 2024 yang solid dan 2025 yang lebih baik, didukung oleh kondisi politik yang semakin stabil paska pemilihan presiden (Pilpres) serta berbagai indikator makro cukup bagus dan fundamental makro juga kuat, memperkuat optimisme ekonomi terus tumbuh.

Terpisah, Gubernur Bank Indonesia(BI), Perry Warjiyo memastikan pihaknya akan melakukan intervensi menyusul terus melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

"Kami akan memastikan nilai tukar (Rupiah) akan terjaga. Kami lakukan intervensi baik melalui spot maupun non delivery forward (NFD)," ujar Perry.

"Kami jajakan koordinasi dengan pemerintah, dengan fiskal bagaimana menjaga moneter dan fiskal. Kami pastikan kami di pasar untuk melakukan langkah stabilisasi," katanya lagi.

Menurut Perry, Presiden Jokowi juga nantinya akan melakukan langkah khusus agar nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS terus terjaga. "Nanti ada (arahan Presiden)," ujarnya.

Pakar Ekonomi dari Center of Reform on Economic (Core), Mohammad Faisal kebijakan fiskal dan moneter yang dikeluarkan pemerintah harus lebih akomodatif dan responsif guna menjaga agar daya beli masyarakat tidak terpuruk imbas pengaruh global dalam hal ini perang di wilayah Timur Tengah.

"Kalau di fiskal harus lebih akomodatif kalau dari sisi moneter harus memperhatikan hal-hal yang menghambat sektor riil," ujar Faisal.

Menurut Faisal hal yang perlu diantisipasi juga adalah kenaikan harga minyak yang bisa berdampak kepada kenaikan harga BBM di dalam negeri.

Pemerintah lanjutnya harus menghindari kebijakan fiskal yang justru lebih ketat.

"Artinya sekarang kebijakan fiskalnya harus lebih longgar menghindari kebijakan-kebijakan yang menekan konsumsi dan daya beli masyarakat. Dan kalau melihat kondisi eskalasi di Timur Tengah sebelum perang kan justru kebijakan fiskalnya lebih ketat ya dengan PPN 12 persen, cukai dan lain lain dan ini yang harus dihindari. Termasuk pembatasan subsidi yang harus dihindari juga. Karena antisipasi harga minyak yang bakal bikkn kenaikan harga BBM," kata Faisal.

Dari sisi moneter kata Faisal harus memperhatikan hal-hal yang bisa menghambat sektor riil terutama tingkat suku bunga. Jangan sampai nanti apabila The Fed merespon kondisi geopolitik di Timur Tengah dengan menaikkan tingkat suku bunganya pemerintah Indonesia jangan ikutan.

"Tapi lebih mencari cara yang lain. Misal kalau tidak dinaikkan suku bunga jadi pelemahan nilai tukar rupiah. Maka untuk mengurangi pelemahan tersebut bisa dengan instrumen menggelontorkan cadangan Devisa misalnya. Karena cadangan devisa kita juga cukup banyak. Fiskal dan moneter harus akomodatif jangan sampai daya beli masyarakat terpuruk," kata Faisal.

Pakar Ekonomi Bhima Yudhistira menyebut guna mendukung kebijakan sektor riil harus paralel dengan menekan impor barang pangan dan barang konsumsi. Hal itu lantaran penyebab melemahnya kurs rupiah terhadap dolar AS bukan hanya perang Iran-Israel saja tetapi juga melemahnya pengaturan impor.

"Barang impor dari mulai beras 3 juta ton, bawang putih sampai terbukanya impor barang lewat e-commerce itu melemahkan sektor riil dan rupiah sekaligus. Tiap impor pangan pakai dolar AS ya jeblok rupiahnya. Bagaimana sektor pertanian mau produktif, harganya kalah saing dengan impor pangan," ujar Bhima.

Karena itu lanjut Direktur Center of Economic and Law Studies ini kurang lengkap jika hanya jargon mendorong sektor riil tanpa ada langkah nyata membatasi impor.
"Efektifnya ya perketar impor dan perkuat produksi dalam negeri," kata Bhima.(Tribun Network/nis/wly)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini