News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Nilai Tukar Rupiah

Investor Cari Aman Imbas Konflik Iran-Israel, Bersiap Rupiah Tembus ke Level Rp17.000 Saat Memburuk

Editor: Seno Tri Sulistiyono
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Karyawati menunjukkan mata uang rupiah dan dolar Amerika Serikat di tempat penukaran uang asing di Jakarta.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dalam beberapa hari ke belakang terus mengalami tekanan, seiring memanasnya konflik Iran-Israel dan sentimen suku bunga Amerika Serikat.

Tercatat, rupiah jatuh ke posisi Rp16.265 dolar AS pada perdagangan pasar spot pada Jumat (19/4/2024).

Belakangan ini, investor asig cari aman dengan mencatatkan transaksi jual bersih atau net sell. Di mana jelang akhir pekan, net sell saham Rp 724 miliar di seluruh pasar Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Kamis (18/4).

Aliran keluar dana asing semakin deras di pasar Surat Berharga Negara (SBN).

Baca juga: Rupiah Loyo, Sri Mulyani: Stabilitas Ekonomi akan Terus Dijaga, dari Sisi Moneter maupun Fiskal

Per 17 April 2024, kepemilikan asing alias non residen di pasar SBN tercatat hanya sekitar Rp 804,55 triliun dibandingkan Rp 842,55 triliun di awal tahun 2024.

Ini artinya terjadi dana keluar sekitar Rp 38,27 triliun sejak awal tahun di pasar surat utang Indonesia.

Senior Economist KB Valbury Sekuritas Fikri C. Permana mengatakan, keluarnya dana asing kemungkinan menuju pasar Amerika Serikat. Tercermin dari tren penguatan dolar AS (USD) dan naiknya yield US Treasury belakangan ini.

Nilai tukar rupiah diproyeksi masih akan terjerembab lebih dalam.

Selain efek ketegangan politik di Timur Tengah dan tingginya suku bunga secara global, rupiah semakin terbebani tren keluarnya dana asing dari pasar modal Indonesia.

Dolar AS dan US Treasury dianggap sebagai pelarian utama dari efek kecamuk di Timur Tengah.

Di tambah lagi potensi penundaan pemangkasan suku bunga The Fed. Sehingga, investor mengutamakan keamanan daripada keuntungan (risk averse).

"Hampir semua negara mengalami tekanan yang sama seperti rupiah. Jadi saya lihat masih wajar tekanan rupiah saat ini," kata Fikri dikutip dari Kontan, Minggu (21/4/2024).

Dalam jangka pendek, rupiah masih akan berada dalam rentang Rp 15.800-Rp 16.400 per dolar AS.

Rupiah juga bergantung data neraca perdagangan ekspor impor yang dirilis awal pekan depan.

"Apabila neraca perdagangan surplus masih di atas US$ 3 miliar, kemungkinan positif untuk rupiah. Apabila nilai surplus lebih rendah atau bahkan defisit, bakal ada tekanan lanjutan bagi rupiah ke 16.500," imbuhnya.

Jika sudah begini intervensi Bank Indonesia (BI) ataupun Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tidak hanya lewat open market operation, tetapi bisa menawarkan berbagai instrumen yang bisa menarik minat investasi asing.

"Instrumen surat utang global dalam bentuk dolar AS ataupun mata uang lainn" kata Fikri.

Rupiah bisa lebih rendah lagi apabila perang geopolitik berkepanjangan, tidak ada pemangkasan bunga Fed.

Skenario terburuk, rupiah bisa terperosok ke Rp 16.200-Rp 16.700 per dolar AS di semester I-2024 dan kemungkinan di area Rp 16.400-Rp 17.000 di akhir tahun ini.

Pengamat Komoditas dan Mata Uang Lukman Leong menambahkan, prospek rupiah sangat berat hingga akhir tahun ini. Proyeksi itu seiring kemungkinan The Fed tidak jadi memangkas suku bunga.

Sehingga akhirnya menurunkan nilai ekspor dan neraca perdagangan Indonesia. "BI bisa terus melakukan intervensi, tetapi di saat bersamaan menggerus cadangan devisa," kata
Lukman.

Perbankan RI Aman

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai risiko yang dihadapi industri perbankan nasional akibat penguatan dolar Amerika Serikat beberapa waktu ini masih dapat dimitigasi dengan baik.

Berdasarkan hasil uji ketahanan (stress test) yang dilakukan OJK, pelemahan nilai tukar rupiah saat ini relatif tidak signifikan berpengaruh langsung terhadap permodalan bank.

Sebab, posisi devisa neto (PDN) perbankan Indonesia yang masih jauh di bawah threshold dan secara umum dalam posisi PDN “long" (aset valas lebih besar dari kewajiban valas).

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan, bantalan permodalan perbankan yang cukup besar (CAR yang tinggi) diyakini mampu menyerap fluktuasi nilai tukar rupiah maupun suku bunga yang masih tertahan relatif tinggi.

Porsi Dana Pihak Ketiga (DPK) dalam bentuk valuta asing saat ini sekitar 15 persen dari total DPK Perbankan. Sampai akhir Maret 2024, DPK valas masih tumbuh cukup baik secara tahunan (yoy) maupun dibandingkan dengan awal tahun 2024 (ytd).

"Pelemahan nilai tukar rupiah yang terjadi saat ini juga dapat memberikan efek positif terhadap ekspor komoditas dan turunannya yang diharapkan dapat mengimbangi penarikan dana non-residen dan mendorong industri dalam negeri untuk meningkatkan penggunaan komponen dalam negeri dalam proses produksinya," kata Dian.

OJK melakukan uji ketahanan secara rutin terhadap perbankan dengan menggunakan beberapa variabel skenario makroekonomi dan mempertimbangkan faktor risiko utama yaitu risiko kredit dan risiko pasar.

OJK juga senantiasa melakukan pengawasan secara optimal untuk memastikan bahwa berbagai risiko akibat pelemahan nilai tukar maupun suku bunga yang relatif tinggi terhadap masing-masing bank termitigasi dengan baik.

Dian menegaskan, OJK meminta bank untuk selalu melakukan pemantauan terkait potensi dampak transmisi dari perkembangan perekonomian global dan domestik terhadap kondisi bank dan melakukan langkah mitigasi yang diperlukan.

Koordinasi dengan Anggota KSSK juga terus dilakukan disertai komitmen untuk terus mengeluarkan kebijakan yang dibutuhkan secara tepat guna dan tepat waktu.

Dian mengimbau masyarakat untuk tetap tenang dalam menghadapi dampak guncangan (shock) geopolitik global yang saat ini terjadi.

“Ketenangan dan rasionalitas dari masyarakat, serta koordinasi antar-otoritas terkait, merupakan faktor kunci dalam menghadapi dinamika perekonomian global yang saat ini terjadi," kata Dian.

Menurutnya, sejauh ini, penguatan dolar AS terjadi terhadap seluruh mata uang secara global, tercermin dari Dollar Index yang mencatatkan tren kenaikan sejak akhir Maret 2024.

Beberapa faktor yang memengaruhi penguatan dolar AS antara lain adalah kebijakan suku bunga high for longer yang masih berlanjut di tengah kuatnya perekonomian AS namun bersamaan dengan laju inflasi AS yang masih cukup jauh dari target 2%.

Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan The Fed yang menyatakan belum akan terburu-buru menurunkan suku bunga dan akan terus melihat perkembangan data-data perekonomian ke depan.

Sementara itu, tensi geopolitik yang meningkat di Timur Tengah setelah konflik langsung Iran dengan Israel menyebabkan kekhawatiran akan terjadinya perang yang makin meluas dan dapat membebani perekonomian dunia.

Terutama dari kenaikan harga komoditas energi dan mineral utama serta kenaikan biaya logistik seiring terganggunya jalur perdagangan utama akibat konflik di Timur Tengah dan Rusia-Ukraina.

Peningkatan tensi geopolitik dan ketidakpastian global ini menyebabkan dolar AS yang merupakan salah satu safe haven asset terus diburu para pelaku pasar dan mendorong penguatannya lebih lanjut.

Di sisi lain, perekonomian domestik juga terpengaruh oleh situasi geopolitik ekster?nal dimaksud sebagaimana terlihat dari data inflasi Indonesia Maret 2024 yang tercatat sebesar 0,52% (mtm) atau 3,05% (yoy) atau meningkat dibandingkan 2,75% (yoy) pada Februari 2024, meskipun masih tetap dalam rentang target yang ditetapkan.

Langkah Bank Indonesia

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memastikan bahwa stabilitas rupiah tetap terjaga, meskipun ditengah penguatan dolar Amerika Serikat (AS) dan ketegangan geopolitik antara Iran dan Israel yang memanas.

"Kami terus memastikan stabilitas Rupiah tetap terjaga dengan intervensi valuta asing dan langkah-langkah lain yang diperlukan," kata Perry.

Perry mengatakan, Bank Indonesia melakukan pengelolaan aliran portfolio asing yang ramah pasar, termasuk operası moneter yang “pro-market" dan terintegrasi dengan pendalaman pasar uang, mendukung ketahanan eksternal ekonomi Indonesia.

Selain itu menurut Perry, ekonomi Indonesia termasuk salah satu negara emerging market (EMEs) yang kuat dalam menghadapi dampak rambatan global akibat ketidakpastian penurunan Fed Fund Rate (FFR) dan meningkatnya ketegangan geopolitik di Timur Tengah.

Hal ini ditopang oleh kebijakan moneter dan fiskal yang pruden dan terkoordinasi erat.

"Untuk memperkuat ketahanan eksternal dimaksud, komitmen kuat Bank Indonesia untuk stabilisasi nilai tukar menjadi bagian penting," terangnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini