Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Konferensi Tingkat Tinggi PBB untuk Perdagangan dan Pembangunan (KTT UNCTAD) ke-60 diselenggarakan di Kota Bandung, Jawa Barat pada Rabu (15/5/2024).
UNCTAD merupakan organisasi yang bertujuan mendukung negara-negara berkembang untuk mengakses manfaat ekonomi global secara lebih adil dan efektif.
Dalam KTT UNCTAD ini, turut hadir Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu) RI, Pahala Nugraha Mansury dan Staf Khusus Kementerian Investasi/BKPM M. Pradana Indraputra.
Dalam kesempatan itu, Pradana menyampaikan perekonomian dunia saat ini tidak terlalu bersahabat. Ia merujuk laporan World Bank dan Our World in Data mengenai fakta produksi emisi gas kaca dunia.
"Kita sekarang hidup di dunia di mana perekonomiannya, sejujurnya, tidak terlalu bersahabat," kata Pradana dalam forum tersebut.
Baca juga: Prabowo Berambisi Bawa Pertumbuhan Ekonomi RI 8 Persen, Ekonom Bilang Sulit, Harus Ambil Langkah Ini
Delapan negara dengan ekonomi terbesar, yang mencakup 30 persen populasi dunia, telah menyumbang 54 persen dari total emisi gas rumah kaca dari tahun 1998 hingga 2022.
Sementara itu, 70 persen populasi dunia lainnya, yang sebagian besar merupakan negara berkembang, harus menanggung beban sejenis yang disebabkan oleh 8 negara tersebut.
Terkait hal itu, ia menyatakan dalam kolaborasi antarnegara, memperlakukan semua negara dengan cara yang sama adalah sesuatu yang tidak afdol. Sebab setiap negara punya kapasitas, kemampuan, dan sumber daya keuangan yang berbeda.
Sehingga negara maju tersebut semestinya bisa membantu negara - negara berkembang untuk mencapai kemajuan yang sama.
"Kita harus memperlakukan setiap negara sesuai dengan kebutuhan dan kekuatannya, memastikan keadilan dan kesetaraan," katanya.
Baca juga: Presiden Jokowi Akan Bertemu Elon Musk di World Water Forum ke-10 di Bali
Selain kesetaraan, isu greenflation yang sempat diangkat oleh Wakil Presiden terpilih, Gibran Rakabuming Raka juga kembali dibahas dalam KTT ini.
Greenflation sendiri adalah ketidakseimbangan antara jumlah penawaran dan permintaan yang menyebabkan biaya transisi energi bersih menjadi tidak terjangkau secara ekonomi.
"Berdasarkan pengalaman kami (Kementerian Investasi/BKPM), agar transisi energi bersih menjadi berkelanjutan, transisi tersebut harus terjangkau secara ekonomi dan terjangkau. Pertanyaannya adalah bagaimana mencapai hal ini," kata dia.
Menurut Pradana, pemerintah Indonesia juga harus berevolusi dari sekedar regulator, menjadi fasilitator dan matchmaker.
Seperti misalnya, Kementerian Investasi berwenang memberikan insentif fiskal, seperti tax holiday dan tunjangan. Transisi energi bersih merupakan salah satu kategori yang memenuhi syarat untuk menerima insentif ini.
"Kami dapat menawarkan pembebasan pajak kepada perusahaan hingga 20 tahun. Kami juga berencana untuk memperluas insentif ini ke semua praktik berkelanjutan, tidak hanya energi bersih. Pendekatan holistik inilah yang kami sebut sebagai kebijakan industri dan keuangan yang ramah lingkungan. Indonesia siap bekerja sama dengan negara lain dalam upaya ini," pungkas Pradana.