Ketika rokok ilegal marak di pasaran, mereka akan menggerus produk rokok yang resmi, sehingga produksi rokok yang resmi omset-nya akan turun, otomatis produsen juga akan mengurangi pembelian bahan baku dalam hal ini tembakau.
"Sederhananya, ketika produk rokok resmi semakin mahal pasti penjualanya tergerus rokok ilegal, dampak negatifnya pembelian bahan baku juga akan menurun, di sinilah rugi-nya petani,” katanya.
Penurunan pembelian tembakau ini, lanjut Agus, juga berdampak pada kurang semangatnya petani menanam tembakau. Karena kebijakan paling ampuh yang bisa mematikan atau menghidupkan ekonomi petani tembakau adalah kebijakan tentang struktur cukai.
"Kebijakan cukai semakin naik, maka kiamat petani tembakau semakin dekat," tegasnya.
Agus juga melihat secara makro kondisi saat ini sedang dalam situasi rentan, bahkan penuh ketidakpastian akibat resesi global. Kondisi ini, tentu berakibat pada tidak stabilnya daya beli termasuk terhadap produk tembakau.
"Petani tembakau masih belum benar-benar bisa keluar dari krisis akibat pandemi. Tumpukan dari krisis dan resesi yang sudah berat itu, menjadi semakin berat dengan arah kebijakan cukai 2025 , Jangan sampai tanah yang subur tanaman kearifan lokal akan kesepan hanya menjadi cerita dan kenangan," katanya.
DPN APTI berharap, menjelang periode akhir kepemimpinan Presiden RI, Jokowi, bisa memberikan 'kado emas' berupa kebijakan yang melindungi ekosistem petani tembakau di seluruh Indonesia sehingga bisa menjadi pedoman kepemimpinan berikutnya.
"Harapan terakhir petani tembakau kepada pak Jokowi sebagai presiden rakyat. Semoga beliau memiliki itikad baik dengan membuat kebijakan yang melindungi kelangsungan ekonomi petani tembakau," pungkas Agus.