Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda melihat iuran Tapera belum tentu dapat mengatasi permasalahan kebutuhan rumah bagi masyarakat atau backlog perumahan di Indonesia.
Kewajiban iuran Tapera merupakan salah satu bentuk kebijakan pemerintah dalam menyediakan pembiayaan perumahan untuk Masyarakat Berpendapatan Rendah atau MBR. Tapera diundangkan dalam UU No.4 tahun 2016.
"PP yang ramai terakhir merupakan turunan dari UU tersebut. Di UU jelas bahwa Pekerja dan Pekerja Mandiri yang berpenghasilan minimal UMR wajib jadi peserta Tapera," ujar Huda saat dihubungi Tribunnews, Rabu (29/5/2024).
Dia melihat ada beberapa poin yang jadi persoalan. Misalnya, apakah benar Tapera bisa menyelesaikan masalah Backlog rumah di Indonesia. Secara aturan, kewajiban ini sudah berjalan dari tahun 2018 atau dua tahun setelah UU Tapera terbit.
Baca juga: Riuh Gaji Pekerja Dipotong untuk Tapera, Pengusaha Properti Sambut Positif Tapi Harus Transparan
"Namun apakah sudah menyelesaikan masalah backlog perumahan? Nyatanya backlog perumahan masih terlampau tinggi. Bank Tabungan Negara juga sudah disuntik PMN jumbo pada tahun 2023 untuk membantu kepemilikan rumah," kata Huda.
Sedangkan, menurut Huda, tujuan Tapera sangat 'mengambang' antara Investasi atau arisan kepemilikan rumah. Dalam beleid Tapera, Dana yang dikumpulkan dari peserta dikelola ke dalam beberapa portofolio investasi, yaitu ke korporasi (47 persen), SBN (45 persen), dan sisanya deposito.
"Dalam beleid tersebut juga disebutkan bahwa peserta berhak menerima informasi dari manajer investasi tentang dana dan hasil dari dana kita. Apakah kita diberitahukan setiap bulan dimana posisi kekayaan kita?" kata Huda.
Dengan posisi SBN sebesar 45 persen dari total dana yang dikelola BP Tapera, tentu soal mudah bagi pemerintah untuk menerbitkan SBN karena bisa dibeli oleh badan pemerintah (termasuk BP Tapera) pakai uang masyarakat. Sedangkan, BI rate sudah naik yang artinya deposito sebenarnya lebih menguntungkan dibandingkan SBN.
"Pemerintah ingin menaikkan bunga SBN, tentu jadi beban hutang. Ketika swasta enggan investasi di SBN, badan pemerintah jadi solusinya. Salah satu pejabat BP Tapera adalah Menkeu yang punya kepentingan untuk penyerapan SBN," tambah Huda.
Menurut Huda, manfaat bagi peserta yang tidak mengambil program Tapera akan sangat minim. Peserta yang tidak ambil rumah pertama, karena preferensi atau sudah punya rumah, justru dirugikan apabila tingkat pengembalian tidak optimal.
"Seharusnya dengan uang yang diambil untuk iuran Tapera bisa digunakan untuk investasi sendiri, tapi gegara diambil buat Tapera bisa tidak optimal, atau bahkan rate returnnya lebih rendah dibandingkan inflasi. Jadi ada opportunity cost yang hilang," terang Huda.
Dia menambahkan, bahwa ada konsumsi yang hilang juga karena kebijakan tapera ini dikarenakan ada bagian pendapatan yang disetorkan ke negara lewat tapera. Pada akhirnya konsumsi akan tertekan dan berpengaruh ke PDB.
"Pertumbuhan ekonomi akan terbatas. Jadi ada efek kontradiktif dari kebijakan Tapera ini terhadap ekonomi kita," ucap Huda.