Laporan Wartawan Tribunnews, Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM — Rencana pembangunan Kereta Cepat Jakarta Surabaya dinilai tidak mendukung upaya pemerataan ekonomi ke wilayah lain di Indonesia, terutama luar Jawa.
Karena itu, pemerintah disarankan membangun jalur kereta api di luar Jawa ketimbang memaksakan pembangunan kereta cepat Jakarta-Surabaya.
Pengamat Transportasi Bambang Haryo Soekartono (BHS) menyampaikan pembangunan kereta api di sebagai transportasi logistik dan angkutan massal penumpang sudah dimulai pada pemerintahan penjajah Belanda.
Pengembangannya difokuskan di 4 pulau besar di Indonesia yaitu, Jawa, Sumatera, Kalimantan, bahkan Sulawesi hingga panjang rel mencapai 7.300 km yang sudah terbangun saat itu.
Sebagai contoh, di Sumatera sudah terbangun sekitar 2200 kilometer untuk merealisasikan kereta Trans Sumatera dengan transportasi publik dan logistik massal saat itu.
"Saya mengharapkan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perhubungan, bisa mempertimbangkan untuk melanjutkan pembangunan sistem rel kereta api konvensional di luar Jawa sebagai prioritas, dibandingkan dengan pengadaan Kereta Api Cepat Jakarta - Surabaya," kata BHS, dalam keterangan persnya, Selasa (4/6/2024).
Ia memaparkan, jika Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung yang hanya berjarak sekitar 100 kilometer membutuhkan biaya Rp120 triliun, maka jarak Jakarta - Surabaya yang delapan kali jarak dari kereta cepat saat ini yang akan membutuhkan biaya delapan kali besar dari anggaran projek sebelumnya.
"Ini artinya pembangunan kereta cepat Jakarta - Surabaya membutuhkan sekitar Rp960 triliun."
Baca juga: Bahas IKN, Anies Soroti Urgensi Pembangunan Infrastruktur Kereta dan Renovasi Sekolah di Kalimantan
"Bandingkan jika dana sebesar itu digunakan untuk membangun sistem rel kereta api konvensional di Sumatera yg belum terealisasi sepanjang 1300 km untuk target Trans Sumatera dari Lampung menuju Aceh.
Bila biaya pembangunan rel kereta api per kilometer adalah Rp 40 miliar maka total biaya untuk menyelesaikan rel Trans Sumatera hanya sebesar 52 Triliun Rupiah. Dengan modal ini maka bisa terbangun rel kereta api Trans Sumatera,” ujarnya.
BHS menambahkan, pemerintah juga bisa mengadakan tambahan 100 rangkaian kereta api (Rolling-Stock) seharga sekitar 100 Milyar per rangkaian atau total sekitar 10 triliun rupiah, dimana rangkaian kereta api terdiri dari rangkaian kereta penumpang kapasitas 10 gerbong, termasuk lokomotif.
Baca juga: Bambang Haryo Dorong Pembangunan Rel Kereta Api Trans Sumatera, Tumbuhkan Perekonomian Sumatera
Serta sebagian bisa digunakan untuk kereta barang ( logistik ) dengan rangkaian 30 gerbong kereta barang, beserta lokomotifnya per rangkaian.
"Dengan manfaat itu, sudah bisa dipastikan kereta api konvensional mampu memindahkan jutaan penumpang tiap tahun serta seluruh logistik sumber daya alam (SDA) maupun Agriculture yang jumlahnya miliaran ton logistik per tahunnya dari hasil wilayah Sumatera," ungkapnya.
Ia menekankan, jika anggaran kereta api cepat tersebut juga sebagian kecil digunakan untuk membangun sistem kereta api di wilayah Indonesia yang lainnya, seperti Trans Sulawesi sepanjang 1750 Km dengan biaya kilometer panjang rel tidak lebih dari 60 Triliun Rupiah.
Maka ekonomi di Pulau Sulawesi akan berkembang pesat dengan adanya logistik sumber daya alam seperti agrikultur dalam jumlah miliaran ton dan penumpang jutaan per tahun dapat diangkut oleh transportasi massal kereta api di Sulawesi. tentu lebih efektif dan murah dibanding pembangunan kereta cepat Jakarta - Surabaya.
"Dengan biaya yang tidak lebih dari 200 triliun, Trans Sumatera dan Trans Sulawesi dapat terealisasi untuk membangun ekonomi di sekitar 10 provinsi di Sumatera dan 6 Provinsi di Sulawesi, sehingga pertumbuhan ekonomi akan menggeliat, dan tentu akan terjadi pemerataan ekonomi akibat adanya transportasi publik massal tersebut."
"Karena yang lebih bisa menumbuhkan ekonomi adalah perpindahan logistik yang cepat dalam jumlah besar daripada perpindahan penumpang,” jelasnya.
Ia menyampaikan, pembangunan sistem kereta api di Provinsi Aceh sangat mendesak demi mengantisipasi pembangunan infrastruktur pelabuhan yang terintegerasi dengan kawasan industri.
Selain itu juga untuk berkompetisi dengan Singapura dan Malaysia yang telah lama menguasai sebagian besar logistik di Selat Malaka dan Selat Sunda sebagai ALKI 1.
"Dengan potensi pasar Singapura dan Malaysia masing - masing 30 juta TEUS per tahun dan ditambah wacana pembangunan selat Kra di Thailand, kita harus berusaha mengambil pasar tersebut dengan membuat sistem transportasi kereta api di Sumatera," ujarnya.
Tujuannya agar bisa mengangkut bahan mentah (raw material) menuju industri penghasil bahan jadi di Sumatera dan didistribusikan ke Jawa dan wilayah domestik maupun ekspor setelahnya.
Pemerintah RI diharapkan meninjau kembali untuk memprioritaskan kereta api konvensional sebagai transportasi massal di seluruh wilayah Indonesia, karena perpindahan logistik maupun penumpang dengan jumlah jauh lebih besar untuk pemerataan ekonomi seluruh Indonesia.
Baru setelahnya, membangun kereta cepat Jakarta-Surabaya.
"Setelah kereta api seluruh Indonesia tercukupi, baru kita bicara soal kereta cepat untuk Jakarta - Surabaya," kata dia.