News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Luhut Kejar Investasi Tesla Hingga Amerika Serikat, Dapatnya Investasi Starlink Rp 30 Miliar

Penulis: Erik S
Editor: Hendra Gunawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi Starlink

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan nilai investasi Starlink di Indonesia hanya Rp30 miliar dan hanya memiliki tiga orang karyawan.

Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti Dr Trubus Rahardiansah mempertanyakan terkait nominal investasi tersebut.

Menurutnya, modal Starlink untuk melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi layanan tertutup VSAT (JARTUP VSAT) dan izin penyelenggara jasa internet (ISP), dinilai tak masuk akal.

Baca juga: Kecil Banget, Investasi Starlink di Indonesia Cuma Rp 30 Miliar

“Apa iya modal sebesar itu cukup untuk membangun usaha JARTUP VSAT dan ISP? Padahal industri telekomunikasi memiliki karakteristik high CAPEX dan high expenditure. Apakah masuk akal karyawan yang dibutuhkan hanya 3 orang saja? Menurut saya itu sangat tidak mungkin,”ungkap Trubus, Jumat (14/6/2024).

Selama ini Presiden Jokowi dan Menteri Luhut berharap Elon Musk mau berinvestasi cukup signifikan melalui Starlink dan Tesla. Tujuannya agar dapat menyerap banyak tenaga kerja.

Minimnya investasi Starlink membuat Trubus mempertanyakan efektivitas kunjungan Presiden Jokowi dan Menteri Luhut yang berkunjung ke Amerika Serikat untuk mengejar investasi Elon Musk membangun pabrik Tesla di Indonesia.

Mereka bertemu Elon Musk di Amerika. Apa lagi investasi Tesla di Indonesia tak kunjung terwujud.

“Masa investasi Starlink kalah sama pengusaha ISP. Masa jumlah karyawan Starlink di Indonesia jauh di bawah ISP kecil yang ada di Indonesia. Sehingga kehadiran Starlink di Indonesia tidak ada manfaatnya sama sekali. Kalau hanya untuk menyediakan akses internet di daerah 3T, Kominfo juga sudah punya SATRIA,”kata Trubus.

Seorang pelaku usaha telekomunikasi menceritakan, ketika ia mengajukan izin ISP, Kominfo melakukan pengecekan secara mendalam seperti dokumen dan seluruh perangkat telekomunikasi. Termasuk keberadaan kantor, ketersediaan perangkat fisik, layanan purna jual dan layanan pelanggan.

Sebab di dalam persyaratan yang saat ini masih berlaku, Kominfo meminta seluruh pelaku usaha JARTUB VSAT atau ISP memiliki kantor fisik dan perangkat fisik NOC. Selain itu untuk mendapatkan izin JARTUB VSAT, Starlink harus berkoordinasi dengan penyelenggara satelit yang sudah beroperasi. Apakah koordinasi itu sudah dilakukan?

Baca juga: Luhut Bilang BTS Tak Perlu karena Ada Starlink, Pengamat: Bikin Ketidakpastian Iklim Investasi!

Untuk melakukan usaha penyelenggaraan telekomunikasi JARTUP VSAT dan izin ISP seperti yang dilakukan Starlink, modal yang dibutuhkan lebih dari Rp 30 miliar. Selain itu untuk dapat melayani seluruh wilayah Indonesia, Starlink membutuhkan minimal 9 stasiun bumi yang dijadikan hub. Minimal investasi untuk membangun 1 stasiun bumi seperti yang dimiliki BAKTI Kominfo di proyek SATRIA US$ 5 juta.

Agar dapat beroperasi dan melayani seluruh wilayah di Indonesia, setidaknya Starlink membutuhkan lebih dari 3 NOC. Satu NOC membutuhkan minimal 15 orang tenaga kerja perhari (3 shift). Nilai investasi untuk 1 NOC tak kurang dari US$ 1 juta. Investasi Rp 30 miliar yang disampaikan Menteri Bahlil dinilai dapat dilakukan jika NOC dan kantor Starlink menggunakan layanan virtual. Seluruh kendali dilakukan dari kantor pusat mereka.

Padahal Kominfo mengharuskan seluruh penyelenggara telekomunikasi baik itu VSAT maupun ISP memiliki NOC fisik di Indonesia. Tujuannya agar mempermudah aparat penegak hukum (APH) jika ingin melakukan lawful interception. Selain itu adanya fisik NOC di Indonesia untuk menjamin keamanan data pribadi masyarakat.

Trubus menilai minimnya modal dan mudahnya izin yang diterima tanpa melihat kewajaran nilai investasi di perusahaan telekomunikasi membuktikan Kominfo telah mengabaikan prosedur (maladministrasi) dan telah melakukan perilaku koruptif menjelang akhir masa pemerintahan Presiden Jokowi.

“Kuat sekali dugaan maladministrasi pada penerbitan izin penyelenggaraan telekomunikasi Starlink. Kayaknya ada tekanan politik luar biasa yang dialami Kominfo ketika penerbitan izin Starlink ini. Harusnya Ombusdman dan APH dapat melakukan investigasi mendalam pemberian izin Kominfo tersebut. Menurut saya ini tak wajar dan terkesan instant. Maladministrasi itu mengarah perilaku koruptif,”ungkap Trubus.

Lanjut Trubus, untuk mendapatkan izin harusnya seluruh pelaku usaha telekomunikasi harus memenuhi kelengkapan administratif dan kecukupan persyaratan seperti yang tertuang diregulasi. Kalau kelengkapan dokumen cukup namun persyaratan tak lengkap harusnya Kominfo tak memberikan izin penyelenggaraan ke Starlink.

Agar pemerintahan Presiden Jokowi dan Kominfo kembali mendapatkan kepercayaan publik, Trubus meminta Ombudsman dapat melakukan evaluasi terhadap penerbitan izin Starlink. Rencana Kominfo akan menerjunkan direktorat pengendalian untuk melakukan pengecekan terhadap kegiatan usaha Starlink, dinilai Trubus tidak cukup.

“Saat ini publik sudah tak percaya sama Kominfo karena berperilaku seperti jubir Starlink. Harusnya investigasi dan evaluasi penerbitan izin Starlink melibatkan berbagai pemangku kepentingan seperti Ombudsman, APH dan asosiasi. Selain itu Menkominfo tak bisa lepas tangan atas kegaduhan ini. Ia harus bertanggungjawab dan membuktikan kalau pengajuan izin Starlink tak seperti yang dituduhkan,”kata Trubus.

Agar kegaduhan tak terjadi lagi di masa mendatang, pemerintahan selanjutnya yang nanti dipimpin presiden terpilih Prabowo Subianto harus membuat regulasi yang jelas terhadap Non-Geostationary Orbit (NGSO). Termasuk aturan mengenai keamanan dan teritorial digital Indonesia. Sebab nantinya akan banyak model bisnis lain mirip Starlink masuk ke Indonesia.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini