Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Di tengah berbagai kemajuan yang telah dicapai Indonesia dalam mengembangkan ekonomi syariah, ada empat tantangan yang masih harus diselesaikan.
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Juda Agung menjelaskan empat tantangan tersebut.
Pertama, masih tingginya ketergantungan Indonesia terhadap bahan baku halal dari luar negeri, baik itu daging maupun bahan-bahan turunan seperti emulsifier yang banyak digunakan dalam industri makanan.
"Sementara itu, daging potong yang disembelih di rumah potong hewan di dalam negeri pun belum semua memiliki sertifikasi halal," kata Juda dalam sambutannya di acara Opening Ceremony Festival Ekonomi Syariah Kawasan Timur Indonesia 2024, Senin (8/7/2024).
Baca juga: Jaga Ekonomi Nasional, Menteri PANRB & Menteri PPN Dorong Lembaga Ekonomi Syariah Diperkuat
Kedua, rendahnya pangsa keuangan syariah. Menurut Juda, hal ini antara lain disebabkan oleh inovasi produk keuangan syariah yang terbatas dan basis investor keuangan syariah yang belum kuat.
Bahkan, ia mengatakan beberapa kalangan seringkali belum sepenuhnya terliterasi dengan baik terhadap produk keuangan syariah.
Itu menyebabkan munculanya anggapan bahwa keuangan syariah atau bank syariah sama dengan bank konvensional. Ini yang dinilai Juda perlu terus diluruskan dan ia memastikan BI akan terus melakukan edukasi.
Ketiga, potensi pasar yang besar, baik dari dalam negeri maupun luar negeri belum tergarap dengan baik. Ia mencontohkan modest fashion alias gaya baju tertutup dengan tidak mengkespos tubuh, tidak transparan, dan tidak mengekspos kulit berlebihan.
Juda memandang Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi pusat modest fashion dunia.
"Parisnya modest fashion harusnya di Indonesia. Tadi kita lihat juga penampilan fashion show yang sangat memukau yang setiap tahun kita ajak mereka untuk dikenalkan kepada pusat fesyen dunia, sehingga modest fashion menjadi sebuah mainstream baru di dalam dunia fashion di Global," ujar Juda.
Ia kemudian mencontohkan kalau negara-negara yang bukan mayoritas muslim saja, seperti Jepang dan Korea Selatan, sudah mulai membuka wisata ramah muslim.
Mereka disebut telah membuka restoran-restoran yang halal dan pusat untuk memenuhi keperluan-keperluan para traveler muslim.
"Ini juga tentu saja akan membuka permintaan membuka peluang bagi produk-produk halal," tutur Juda.
Keempat, masih rendahnya literasi ekonomi syariah. Hasil survei yang Juda sebutkan menunjukkan bahwa literasi ekonomi syariah di Indonesia masih sebesar 28 persen.
"Artinya, dari 100 orang Indonesia baru 28 orang yang memahami mengenai ekonomi dan keuangan syariah. Tentu saja target ke depan 2025 sebesar 50 persen perlu terus kita upayakan," pungkas Juda.