Ia menegaskan bahwa ketidakpatuhan OTA asing dalam mendirikan BUT selain mengakibatkan kerugian terhadap pelaku usaha hotel maupun konsumen, negara juga ikut dirugikan karena kehilangan potensi pendapatan dari pajak komisi dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
"Mereka membebankan pajak ke kami, pihak hotel. Padahal, kalau OTA lokal, mereka yang bayar, bukan pihak kami. Ini tentu membebani kami," kata Maulana.
Baca juga: Wacana Penerapan Pajak Bea Masuk 200 Persen Produk China, Pengusaha Ingatkan Hal Ini ke Pemerintah
Diketahui untuk PPN, nilai potensi pajak dari transaksi OTA asing dapat mencapai sekitar Rp3,18 triliun. Sementara potensi kerugian dari pembebanan pajak komisi sebesar 1,1 persen mencapai Rp318,67 miliar.
"Jika mereka tidak memiliki BUT, negara akan dirugikan dari potensi pendapatan pajak. Ini termasuk pajak komisi dan PPN," pungkasnya.
PHRI sendiri sudah melaporkan persoalan ini kepada Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan sejak 2017 untuk penegakan keadilan dan aturan. Namun sampai sekarang, penegakan UU 36/2008 tentang Pajak Penghasilan dan UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan masih belum terwujud.
(*)