Laporan Wartawan Tribunnews.com Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia akan membutuhkan 106 hingga 120 kargo Liquefied Natural Gas (LNG) pada tahun 2025, untuk menghindari potensi kekurangan gas karena pertumbuhan konsumsi domestik melampaui pasokan.
Peningkatan permintaan yang signifikan ini disebabkan oleh berkurangnya pasokan gas pipa dari ladang tua di wilayah Jawa Barat dan Sumatera, sementara permintaan domestik diperkirakan akan terus meningkat.
Sementara itu, proyek-proyek baru, termasuk Lapangan Abadi di blok Masela yang sebagian besar berada di Indonesia timur, diperkirakan baru akan beroperasi setelah tahun 2027.
Menjembatani kesenjangan ini, PGN diharapkan akan membeli sekitar 23 kargo LNG untuk memenuhi tahun 2025, hal ini meningkat dari penyerapan 3 kargo pada tahun 2024, sementara PLN akan membutuhkan tambahan 27 kargo LNG pada tahun 2025. Secara total, Indonesia berpotensi perlu mengimpor hingga 35 kargo LNG tahun depan, mengingat suplai domestik hanya mencapai 14 kargo.
"Pemerintah Indonesia harus segera mengambil tindakan cepat untuk mempercepat infrastruktur gas dan pengembangan hulu, memastikan harga gas yang ekonomis bagi produsen hulu, dan mendorong kemitraan publik-swasta untuk memanfaatkan keahlian dan pendanaan sektor swasta," kata Aris Mulya Azof, Ketua Indonesian Gas Society di sela-sela IndoPACIFIC LNG Summit 2024 belum lama ini.
IndoPACIFIC LNG Summit 2024 diadakan di Bali dengan mengumpulkan lebih dari 150 pemimpin sektor gas dan LNG global untuk membahas peran kritis LNG dalam mencapai emisi nol bersih. Acara ini mengeksplorasi isu-isu penting, termasuk kebijakan iklim, volatilitas harga, infrastruktur midstream, dan energi alternatif, yang membatasi pasar LNG global dan regional.
Dikatakan Aris Mulya, kebutuhan mendesak akan impor LNG menyoroti pentingnya investasi dalam ladang gas dan infrastruktur baru untuk memenuhi permintaan energi yang terus meningkat di Indonesia.
Baca juga: Lewat Integrasi Infrastruktur Gas Bumi, PGN Genjot Pemanfaatan Gas Hingga 70 BBTUD di Jawa Tengah
Komitmen pemerintah untuk meningkatkan pemanfaatan gas domestik dan mengurangi ekspor akan sangat penting dalam menjaga keamanan energi dan mendukung pertumbuhan ekonomi.
"Selain itu, insentif keuangan yang ditargetkan, seperti pengurangan pajak, pinjaman berbunga rendah, dan subsidi langsung, dapat membantu mengurangi biaya awal yang tinggi dalam mengembangkan infrastruktur gas yang kritis, terutama untuk mendukung kebutuhan LNG," kata Aris.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian mengatakan, pemerintah baru-baru ini memutuskan untuk memberikan izin bagi kawasan industri untuk mengimpor LNG dan membangun infrastruktur regasifikasi LNG.
Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) mengidentifikasi 7 lokasi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) baru yang berpotensi untuk pengembangan jaringan gas alam.
Menurut neraca gas alam 2023-2032, sektor industri mengkonsumsi 30,83 persen gas, diikuti oleh sektor listrik sebesar 11,82 persen, dan sektor pupuk sekitar 11persen. Kemudian 22,18 persen dari produksi gas diekspor sebagai LNG dan 8,40 persen sebagai gas pipa.
Presiden baru-baru ini menandatangani undang-undang tentang gas alam untuk kebutuhan domestik, yang menetapkan kewajiban pemenuhan domestic market obligation (DMO) sebesar 60 persen.