TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti dari Institute For Development of Economics and Finance (INDEF), Abra Talattov menyebut usulan skema power wheeling dalam RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) bisa menjadi jebakan bagi pemerintah mendatang.
Hal ini lantaran skema tersebut akan berisiko memunculkan lonjakan beban APBN imbas tambahan biaya pokok penyediaan listrik, sebagai konsekuensi masuknya pembangkit listrik dari power wheeling.
Sebagai informasi, skema power wheeling merupakan pemanfaatan bersama jaringan transmisi.
Lewat skema ini, pihak swasta diizinkan untuk membangun pembangkit listrik dan menjual secara langsung terhadap masyarakat melalui jaringan transmisi PLN.
“Lonjakan beban APBN berisiko muncul karena adanya tambahan biaya pokok penyediaan listrik sebagai konsekuensi masuknya pembangkit listrik dari skema power wheeling yang bersumber dari energi terbarukan karena sifatnya yang intermiten,” kata Abra kepada wartawan, Sabtu (3/8/2024).
Abra pun menyebut dampak langsung yang akan muncul adalah tambahan cadangan putar atau backup cost untuk menjaga keandalan dan stabilitas sistem, sehingga setiap 1 GW pembangkit pada power wheeling yang masuk, akan merugikan negara Rp3,44 triliun.
“Dan itu akan mengakibatkan tambahan beban biaya hingga Rp3,44 triliun yang tentu akan membebani keuangan negara. Jika dikalkulasi, tambahan biaya bisa mencapai Rp165-192 triliun," ungkapnya.
Baca juga: Tolak Skema Power Wheeling Masuk RUU EBET, Fraksi PKS DPR: Liberalisasi Sektor Listrik
Pemerintah sebetulnya sudah menggelar karpet merah bagi swasta untuk memperluas bauran energi baru terbarukan (EBT) sebagaimana yang dijaminkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030.
Berkenaan dengan itu, pemerintah disebut tidak perlu memberikan gula-gula pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik. Dalam RUPLT terbaru, target tambahan pembangkit EBT mencapai 20,9 gigawatt (GW), porsi swasta sudah mencapai 56,3 persen atau setara dengan 11,8 GW.
"Hanya dengan menjalankan RUPTL 2021-2030 secara konsisten saja, secara alamiah bauran pembangkit EBT hingga akhir 2030 akan mencapai 51,6 persen," katanya.
Terlebih kata dia, ide penerapan skema power wheeling sudah tidak relevan mengingat saat ini beban negara yang semakin berat menyusul masih adanya kelebihan suplai listrik. Kondisi sektor ketenagalistrikan dinilai miris karena terjadi disparitas yang lebar antara supply dan demand listrik.
Sekali lagi, Abra menegaskan pemerintah harus waspada terhadap pembahasan RUU energi baru dan energi terbarukan (EBET) yang didalamnya memuat pasal power wheeling.
"Risiko terbesarnya adalah membebani keuangan negara yang bisa berdampak langsung terhadap Pembangunan dan masyarakat kecil," katanya.