TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Keputusan untuk memensiunkan 13 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), milik Perusahaan Listrik Negara (PLN), haruslah dilakukan dengan didasarkan pada pertimbangan dan kajian secara mendalam.
Tak hanya secara teknis ilmiah tapi juga secara ekonomi kerakyatan.
Jangan sampai perubahan ini akan menjadi beban untuk rakyat dan sektor industri.
Baca juga: Pegawai Proyek PLTU Jawa 9-10 Suralaya Mogok Kerja, Diduga karena Gaji Telat Dibayar
Anggota DPR-RI terpilih Periode 2024-2029, Bambang Haryo Soekartono menyatakan PLTU hingga saat ini menjadi penyuplai terbesar listrik untuk kawasan Jawa, Sumatera, Bali dan NTB.
"PLTU dengan bahan bakar batu bara ini sudah ada sejak lama dan menjadi penyedia energi listrik terbesar. Kalau saat ini ingin di pensiun dini kan, maka yang harus diperhatikan adalah apa yang akan menjadi pengganti PLTU itu?" kata pemilik sapaan akrab BHS, Selasa (27/8/2024).
Dikatakan alumni ITS Surabaya ini, total persediaan daya listrik di Indonesia ada 44.939 MW dan 68 persen nya menggunakan Bahan Baku Energi Batu Bara.
Ini menunjukkan betapa besarnya peran PLTU di Indonesia.
Peran dari PLTU itu pun juga ditunjukkan pada program terbaru Kabinet Pemerintahan Presiden Jokowi yaitu penambahan pembangkit sebesar 35.000 MW dan masih juga ada partisipasi pembangkit PLTU di dalamnya.
"Bila Pemerintah mengatakan bahwa penghapusan PLTU di Indonesia yang di mulai dengan PLTU milik Negara, dengan alasan untuk memangkas Emisi Gas Buang dan Mencegah Pemanasan Global, harusnya diprogram pembangkit listrik yang baru, tidak disertakan PLTU," ujar BHS..
Dia heran kenapa pembangkit PLTU yang dipensiun dini hanya milik PLN? Padahal pembangkit PLTU milik swasta juga masih banyak, sebagai contoh di Sumatera ada 33 Pembangkit PLTU Swasta.
Baca juga: Penggunaan Hidrogen dan Amonia Hijau untuk Produksi PLTU Diharapkan Makin MeluasĀ
Sedangkan PLN hanya memiliki 13 Pembangkit PLTU di Sumatera.
"Ini namanya tidak konsisten, dan terkesan ada apa ini? Jangan sampai rakyat, industri, perdagangan dan pariwisata di Indonesia akan menjadi korban karena kebijakan ini. Dan saya khawatir peran daripada PLN, sebagai penyedia listrik akan dikurangi. Sehingga memberikan kesempatan pada Swasta sebagai penyuplai listrik terbesar di PLN, yang di khawatirkan ada kartelisasi harga energi di lingkungan PLN yang didorong oleh Swasta," imbuh BHS.
"Kalau tujuannya untuk mencegah pemanasan global, harusnya penggundulan hutan untuk mengeksplor batu bara itu juga punya peran lebih besar terhadap pemanasan global. Ayo Pemerintah harus konsisten dong," tegas BHS yang juga anggota Dewan Pakar DPP Partai Gerindra.
"Saya tidak keberatan kalau pembangkit PLTU di Indonesia bisa digantikan dengan pembangkit energi lainnya, seperti energi surya, bio-energy (kelapa sawit), air, Gheo Thermal, Natural Gas dan bahkan angin yang berlimpah di Indonesia. Tetapi tarif pembangkit pengganti tersebut seharusnya bisa lebih murah dong. Seperti halnya pembangkit listrik tenaga air di Laos dengan membendung Sungai Hyanse, tarif listriknya hanya 3 cent per Kwh. Dan di Lebanon dengan menggunakan energi Gas, tarifnya hanya 2.5 cent" Urai BHS.
Apalagi Indonesia juga berlimpah Energi Gheo Thermal (Panas Bumi) yang terbesar di dunia, serta Energi Matahari. Tetapi pembangkit listrik batu bara harus tetap dicadangkan seperti yang ada di Jerman.
"Saat kesulitan mendapatkan gas dari Rusia, pembangkit batu bara dibuka kembali untuk antisipasi kesulitan bahan baku energi listrik," kata BHS.
Dia mendorong Pemerintah untuk menciptakan energi yang bersih, tetapi programnya harus konsisten, dan betul betul bisa memanfaatkan potensi bahan baku energi yang melimpah dari berbagai jenis di Indonesia untuk dijadikan listrik dengan tarif yang murah.
"Sehingga bisa menumbuhkan Iklim Usaha dari Industri yang ada di Indonesia," kata BHS.