Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Komite Ekonomi Rakyat Indonesia (KERIS), Ali Mahsun Atmo, menyatakan selama ini pelaku ekonomi rakyat telah menyadari pentingnya penjualan produk tembakau hanya untuk konsumen dewasa, yang sebelumnya mengacu pada PP Nomor 109 Tahun 2012.
“Kami mendeklarasikan bersama 27 organisasi lainnya bahwa rokok itu bukan untuk anak-anak, pelaku ekonomi rakyat telah mematuhi peraturan pemerintah yang berlaku. Untuk menurunkan jumlah konsumsi rokok, pemerintah itu harusnya melakukan edukasi, bukan dengan melarang menjual rokok,” kata Ali melalui keterangan tertulis, Jumat (6/8/2024).
Ali menambahkan bahwa PP Kesehatan memiliki dampak serius yang dapat mengancam penghidupan ekonomi rakyat sampai mempersempit lapangan kerja.
Selain itu, ia berpendapat pelarangan ini justru tidak menyasar pada target utamanya, yaitu anak-anak.
Melainkan berpotensi memunculkan modus dan oknum baru yang menjadikan peraturan ini sebagai pungutan liar bagi jutaan pelaku ekonomi rakyat.
Di kesempatan terpisah, Wakil Ketua Umum DPP Asosiasi Koperasi Ritel Indonesia (AKRINDO), Anang Zunaedi, mengatakan pedagang ritel dan koperasi telah menjalankan penjualan produk tembakau sesuai aturan yang berlaku sebelumnya.
Salah satunya adalah pembatasan usia jual beli pada anak-anak di bawah umur dan penempatan produk tembakau di display belakang kasir.
Anang juga mengaku selama ini belum pernah mendapatkan edukasi untuk pelarangan penjualan produk tembakau ke anak di bawah umur dari instansi terkait, yaitu Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Pihaknya bersama anggota AKRINDO lainnya memperoleh edukasi dari industri untuk pelarangan penjualan produk tembakau ke anak di bawah umur.
“Justru kami mendapatkan materi edukasi dari pihak industri, salah satunya penempelan stiker batasan usia untuk penjualan produk tembakau, bukan dari pihak kesehatan," katanya.
Selain itu, Anang juga menyoroti tidak efektifnya upaya yang dilakukan Kemenkes, salah satunya hotline quit smoking karena sangat minum edukasi di lapangan.
“Saya lihat memang tidak efektif karena minimnya edukasi dari Kemenkes atau dinas sosial terkait,” ungkapnya.
Hal ini membuktikan kurangnya inisiatif pelibatan pemangku kepentingan terhadap efektivitas dari kebijakan yang dijalankan pemerintah.