News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pengamat Maritim Ungkap Sederet Dampak Buruk dari Kebijakan Jokowi Buka Keran Ekspor Sedimen

Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Seno Tri Sulistiyono
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi. Kebijakan ekspor sedimen harus selaras dengan komitmen untuk pelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) membantah membuka kembali keran ekspor pasir laut, namun mengekspor sedimen.

Namun, meski buka pasir laut tetapi hal ini tetap dikakhawatiran dampak buruk terhadap lingkungan.

Pengamat maritim Indonesia dari Ikatan Keluarga Besar Alumni Lemhannas Strategic Center (ISC), Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa menerangkan, secara teknis, sedimen adalah material yang terakumulasi di dasar laut, yang terdiri dari berbagai partikel, termasuk pasir.

"Meskipun istilahnya berbeda, proses pengambilan sedimen dalam jumlah besar tetap melibatkan pengangkatan material dari dasar laut," ujar Marcellus saat dihubungi Tribunnews, Selasa (17/9/2024).

Baca juga: Jokowi Bantah Buka Keran Eskpor Pasir Laut Tapi Sedimen Laut

Menurutnya, hal tersebut dapat menyebabkan kerusakan ekosistem pesisir.

Pengambilan sedimen yang berlebihan berpotensi menyebabkan perubahan topografi dasar laut dan mengganggu keseimbangan ekologi, seperti erosi pantai yang berakibat pada degradasi habitat laut dan ancaman terhadap kehidupan laut.

"Pengambilan sedimen laut secara signifikan juga bisa merusak ekosistem yang sensitif, seperti terumbu karang, padang lamun, dan mangrove," terang Marcellus.

Selain itu, berpotensi pula menutupi habitat-habitat penting. Terumbu karang, misalnya, sangat bergantung pada perairan yang bersih dan jernih, sementara kehadiran sedimen berlebih dapat memblokir sinar matahari yang dibutuhkan oleh alga simbiotik untuk melakukan fotosintesis, sehingga mengancam kelangsungan hidup terumbu karang.

"Dampak jangka panjangnya dapat berupa penurunan keanekaragaman hayati laut dan berkurangnya populasi ikan, yang secara langsung mempengaruhi nelayan lokal yang bergantung pada ekosistem ini," terang Marcellus.

Selain dampak ekologi, menurutnya, pengambilan sedimen juga bisa mempercepat erosi garis pantai.

Sedimen di dasar laut memainkan peran penting dalam menstabilkan pantai dan melindunginya dari erosi alami.

Pengangkatan sedimen dalam skala besar dapat melemahkan fondasi alami pantai, mempercepat proses erosi, dan menyebabkan hilangnya daratan, terutama di wilayah pesisir yang rentan.

"Bagi masyarakat pesisir, erosi pantai ini bisa mengancam permukiman, infrastruktur, dan mata pencaharian mereka. Selain itu, kerusakan lingkungan yang terjadi akibat erosi bisa mengakibatkan biaya rehabilitasi yang sangat tinggi, baik secara ekonomi maupun ekologi, dan ini akan memerlukan intervensi jangka panjang dari pemerintah," katanya.

Penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa kebijakan ini disertai dengan regulasi yang ketat dan mekanisme pengawasan yang efektif.

Sebab, tanpa pengawasan yang memadai, eksploitasi sedimen laut dapat mengarah pada eksploitasi yang tidak berkelanjutan, merusak lingkungan dan melanggar prinsip-prinsip tata kelola sumber daya alam yang berkelanjutan.

Marcellus memberi catatan kepada pemerintah. Pertama, pemerintah harus melakukan evaluasi dampak lingkungan yang mendalam sebelum melaksanakan kebijakan ekspor sedimen.

Studi tersebut harus mencakup analisis terhadap efek potensial dari pengangkatan sedimen pada habitat laut, seperti terumbu karang dan padang lamun, yang berfungsi sebagai ekosistem vital untuk berbagai spesies laut.

"Tanpa pemahaman yang jelas mengenai dampak lingkungan, kebijakan ini berisiko menyebabkan kerusakan ekosistem yang tidak dapat diperbaiki, yang dapat berdampak negatif pada biodiversitas dan produktivitas perikanan. Penilaian dampak ini harus dilakukan oleh pihak independen dan harus disertai dengan rencana mitigasi yang jelas," tuturnya.

Kedua, pemerintah harus mengeksplorasi alternatif yang lebih berkelanjutan untuk menangani masalah sedimen. Pengerukan sedimen yang selektif atau penggunaan teknologi pengendalian sedimen yang minim dampak lingkungan dapat menjadi solusi yang lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan ekspor sedimen dalam jumlah besar.

Ketiga, penting bagi pemerintah untuk melibatkan pemangku kepentingan lokal dalam proses pengambilan keputusan. Komunitas nelayan dan ahli lingkungan harus dilibatkan dalam perencanaan dan evaluasi kebijakan untuk memastikan bahwa kebijakan yang diterapkan tidak hanya memenuhi kebutuhan teknis tetapi juga mempertimbangkan dampak sosial-ekonomi pada masyarakat pesisir.

"Partisipasi masyarakat dapat memberikan wawasan yang berharga mengenai kebutuhan dan tantangan lokal, serta membantu dalam mengidentifikasi solusi yang lebih adil dan efektif," kata Marcellus.

Pemerintah juga harus memastikan adanya transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan kebijakan ini. Mekanisme pengawasan yang ketat dan pelaporan berkala mengenai dampak lingkungan dan implementasi kebijakan harus diatur untuk memastikan bahwa kebijakan ekspor sedimen tidak menyebabkan kerusakan yang tidak terdeteksi atau tidak terkelola dengan baik.

"Sistem pemantauan yang efektif harus diterapkan untuk mengevaluasi hasil dari kebijakan dan menyesuaikan langkah-langkah mitigasi jika diperlukan," sambungnya.

Marcellus berujar, kebijakan ekspor sedimen harus selaras dengan komitmen untuk pelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan yang telah dinyatakan dalam visi maritim pemerintah.

"Memastikan bahwa semua kebijakan maritim tidak hanya fokus pada keuntungan ekonomi jangka pendek tetapi juga mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap ekosistem dan masyarakat, adalah kunci untuk mencapai tujuan keberlanjutan yang diinginkan," tuturnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini