Dengan kondisi tersebut, Tupperware menyebut perusahaan terus memfokuskan upayanya atas dua hal utama.
Pertama, diskusi dengan calon investor dan mitra pembiayaan untuk mendapatkan pembiayaan jembatan jangka pendek.
Kedua, melaksanakan rencana perubahan haluan bisnis strategis.
Sebagai catatan, hingga akhir September 2023, total utang Tupperware mencapai US$ 777 juta atau setara Rp 12 triliun.
Tupperware mendapat keuntungan dari ledakan permintaan selama pandemi karena orang-orang tinggal di rumah.
Perusahaan itu mulai memperoleh tantangan usai pandemi mereda.
Bursa saham New York juga mengatakan Tupperware dalam bahaya dihapuskan dari pasar saham karena kala itu terlambat mengajukan laporan tahunannya.
Tupperware mengatakan awal pekan ini bahwa mereka telah tertekan oleh biaya bunga yang lebih tinggi serta kondisi bisnis internal dan eksternal yang menantang yang membatasi aksesnya ke uang tunai.
Merek wadah dapur itu telah mengalami penurunan penjualan dalam beberapa tahun terakhir.
Penjualan turun 18 persen menjadi sekitar US$ 1,3 miliar pada tahun 2022 dari tahun 2021.
Perusahaan, yang mendistribusikan produknya di lebih dari 70 negara yang dibangun di atas tenaga penjualan konsumen setia yang menjajakan produk ke teman dan kenalan, telah berupaya mendigitalkan bisnis penjualan langsungnya, namun masih belum membuahkan hasil seperti yang diharapkan.
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)