Sebab, menjadi ancaman terhadap ekosistem laut yang sudah rentan, serta ancaman terhadap mata pencaharian ribuan nelayan dan masyarakat pesisir.
"Ekspor pasir laut merupakan langkah mundur dalam komitmen kita untuk melestarikan ekosistem laut," ujar Saadiah di Jakarta, dikutip Senin (23/9/2024).
Dia mengatakan, kebijakan yang membuka ruang ekspor laut hanya akan memicu kerusakan lingkungan yang lebih parah, seperti abrasi pantai, hilangnya habitat biota laut, hingga penurunan hasil tangkapan nelayan yang bergantung pada ekosistem sehat.
Penolakan ini diperkuat dengan laporan dari berbagai daerah pesisir yang khawatir bahwa pengerukan pasir laut akan memperparah masalah lingkungan yang sudah ada.
Dia mencontohkan, Di Kabupaten Bintan, nelayan tradisional dengan keras menolak kebijakan ini karena telah mengalami penurunan hasil tangkapan akibat sedimentasi dan kerusakan ekosistem.
"Air laut jadi keruh, ikan kabur, hasil tangkapan nelayan turun drastis. Ini sangat merugikan para nelayan-nelayan yang terkena dampak pengerukkan pasir laut," terang Saadiah.
Saadiah menekankan, pemerintah seharusnya memprioritaskan rehabilitasi lingkungan pesisir dan laut.
Kerusakan yang disebabkan oleh ekspor pasir laut di masa lalu, seperti yang terjadi pada Pulau Nipa yang hampir tenggelam, harus menjadi pelajaran bahwa ekosistem laut sangat rentan terhadap eksploitasi.
"Pemerintah harus segera meninjau kembali kebijakan ini dan menghentikan semua rencana ekspor pasir laut. Kita butuh kebijakan yang berpihak pada lingkungan dan kesejahteraan masyarakat pesisir, bukan kebijakan yang memperburuk kerusakan alam," imbuhnya.