TRIBUNNEWS.COM, BEIJING – Sejumlah brand fashion ternama seperti Louis Vuitton, Chanel, hingga Prada kini mulai kehilangan pamornya di pasar China, pasca gen Z mulai membatasi aktivitas konsumsi terhadap barang-barang mewah.
Adalah Zheng Jiewen, staf biro iklan di kota besar selatan Guangzhou, pria 23 tahun ini menuturkan ia mulai mengurangi konsumsi barang-barang mewah setelah perusahaan tempatnya bekerja mulai mengalami penurunan laba.
Imbasnya gaji bulanan para staff terpaksa dikurangi secara bertahap, yang berpuncak pada pemotongan besar-besaran pada bulan Februari, memangkas penghasilannya hingga hanya setengah dari gaji sebelumnya.
Baca juga: Perkuat Pertukaran Ekonomi Perdagangan, China-Indonesia Adakan Konferensi Kerja Sama Internasional
"Saya sangat terkejut, sejak tahun lalu bisnis baru di perusahaan tempat saya bekerja mulai menurun, membuat gaji kami dikurangi secara bertahap, hingga hanya tersisa setengah dari gaji sebelumnya,” katanya kepada CNN International.
“Untuk bertahan hidup kami mengurangi pengeluarannya agar sesuai dengan gaji baru tersebut. Itu berarti tidak ada lagi Louis Vuitton, Chanel, atau Prada, yang sebelumnya merupakan merek andalan kami,” imbuh Jiewen.
Keluhan serupa juga dilontarkan Nicole Hal, seorang pengusaha berusia 33 tahun yang bekerja mandiri di Guangzhou. Ia mengatakan kepada CNN bahwa kurangnya kepercayaannya terhadap ekonomi negara telah membuatnya memangkas pengeluaran.
"Saya berhenti membeli barang-barang mewah dan produk perawatan kulit yang mahal, termasuk pakaian mahal. Saya berhenti makan di luar, sebaliknya saya memasak sendiri setidaknya empat hari seminggu," katanya.
Fenomena itu merupakan imbas krisis ekonomi yang mencekik di China, mengutip laporan Biro Statistik Nasional China, selama beberapa bulan terakhir negara tersebut bergulat dengan lesunya tingkat produksi industri dan sektor properti yang terus melemah.
Adapun sektor produksi industri di China hanya tumbuh 4,5 persen pada Agustus lalu, jadi laju pertumbuhan paling lambat sejak Maret.
Baca juga: Saham Asia Rebound, Menguat Berkat Dorongan Stimulus Pemangkasan Suku Bunga Bank Sentral China
Kinerja mengecewakan semakin diperburuk imbas melambatnya pertumbuhan di properti China, di mana harga perumahan terus turun memicu anjloknya pendapatan di sektor properti meski berbagai intervensi pemerintah ditujukan untuk menstabilkan sektor tersebut.
Untuk menutupi kekurangan yang disebabkan oleh sektor properti, para pemimpin Tiongkok sebagian besar berfokus pada promosi perluasan manufaktur, termasuk di sektor kendaraan listrik (EV).
Namun, strateginya untuk mengekspor kelebihan kapasitas ke pasar luar negeri telah menyebabkan penolakan global, terutama di kalangan produsen EV di Eropa.
"Di Tiongkok, permintaan domestik yang lemah dan pertumbuhan manufaktur yang kuat telah mendorong surplus perdagangan barang ke tingkat yang sangat tinggi," tulis ekonom di Goldman Sachs dalam laporan tanggal 13 September, seraya menambahkan bahwa Beijing kemungkinan akan menghadapi tarif lebih lanjut dari mitra dagang jika terus mengekspor surplusnya.
Menambah tekanan pada Beijing hingga membuat hilangnya kepercayaan di kalangan konsumen. Tercatat selama Agustus kemarin, penjualan ritel di China secara keseluruhan mencatatkan penurunan, anjlok di level 2,1 persen.
Padahal, para ekonom memprediksi konsumsi dan penjualan ritel akan tumbuh 2,5 persen dalam periode tersebut. Masalah inilah yang membuat gen Z di China makin berpikir dua kali dalam membeli produk fesyen mewah.
Baca juga: Industri Otomotif Eropa Limbung, Audi Dikabarkan Jual Pabrik Belgia ke Perusahaan China
Barang KW Jadi Incaran Gen Z
Dampak perlambatan ekonomi yang jelas telah membuat permintaan brand-brand palsu meningkat. Menurut Direktur firma riset pasar yang berkantor pusat di Shanghai, Mintel, selama tahun 2022 hingga 2024 permintaan produk pingti, replika dari barang bermerk atau barang KW yang mengalami peningkatan tiga kali lipat.
Meski barang replika atau KW, namun produk hampir tidak dapat dibedakan dari produk aslinya yang dibanderol jauh lebih mahal. Dorongan tersebut yang membuat gen Z China mulai kepincut memborong barang KW dari brand fashion Louis Vuitton, Chanel.
“Barang tiruan bisa jauh lebih murah daripada pesaing bermerek mereka. Sepasang celana yoga Lululemon ( LULU ) Align harganya 106 dolar AS di situs web resminya di Tiongkok. Sebaliknya, di situs e-commerce Tmall lusinan produk tiruan dari celana LULU dengan kualitas yang sebanding hanya dibanderol 5 dolar AS,” jelas Gu, analis Mintel.
Popularitas kategori produk KW melonjak karena kepercayaan konsumen di Tiongkok mendekati titik terendah dalam sejarah.
Gu mengatakan bahwa 10 tahun lalu konsumen Tiongkok, merupakan pembelanja barang mewah terbesar di dunia, berbondong-bondong membeli barang-barang Berat dari merek-merek terkenal.
Namun kini dampak krisis ekonomi konsumen beralih ke alternatif yang lebih terjangkau, sebuah tren yang menjadi “arus utama yang baru.”
Meningkatnya kecintaan warga China terhadap barang tiruan sayangnya memicu masalah baru bagi merek-merek mapan seperti Louis Vuitton. Penjualan di perusahaan induknya yang bergerak di bidang barang mewah, LVMH dilaporkan mengalami penurunan laba hingga mencapai 10 persen.