Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Konflik geopolitik di kawasan Timur Tengah memberikan efek pada harga minyak dunia.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membeberkan, harga minyak memang sangat sensitif terhadap faktor geopolitik.
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM, Agus Cahyono Adi mengungkapkan, komoditas minyak dunia memang lebih sensitif dibandingkan komoditas lainnya, apabila dikaitkan dengan konflik geopolitik.
Baca juga: Harga Pertamax dan BBM Dex Series Turun Bulan Oktober 2024, Ini Daftar Harganya di Seluruh SPBU
"Harga minyak bergejolak itu kan enggak hari ini saja. Harga minyak sangat sensitif terhadap geopolitik. Gak sekadar kayak komoditas biasa, yang hanya terkait supply demand," ucap Agus di Jakarta, dikutip Sabtu (5/10/2024).
"Tapi kalau minyak itu, belum terjadi shorted (kekurangan) saja, isu saja sudah menjadi mengkhawatirkan akan kurang pasok. Jadi perilakunya seperti itu," sambungnya.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, Reuters melaporkan bahwa harga minyak melonjak lebih dari 5 persen pada Kamis (3/10), harga minyak mentah Brent naik 3,72 dolar AS menjadi 77,62 dolar AS per barel.
Sementara harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) Amerika Serikat (AS) naik 3,61 dolar AS menjadi 73,71 dolar AS per barel.
Ada kekhawatiran, harga minyak yang bergejolak akan menyebabkan harga bahan bakar minyak (BBM) non-subsidi melejit.
Agus memastikan, untuk pengaturan harga jenis bahan bakar umum dilakukan oleh badan usaha (BU) terkait.
Adapun, hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 11 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Permen ESDM Nomor 20 Tahun 2021 tentang Perhitungan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.
Baca juga: Harga BBM Non-subsidi Turun Serentak Mulai 1 Oktober 2024, Berikut Rinciannya di Seluruh Indonesia
"BBM non-subsidi ya setiap bulannya mengikuti. Ada aturan bahwa untuk jenis bahan bakar umum itu dilakukan oleh badan usaha terkait dengan kita di Permen tersebut mengatur berapa sih batasnya. Ada rumusannya di situ," papar Agus.
Apabila harga BBM non-subsidi mengalami kenaikan, maka dikhawatirkan ini akan membuat masyarakat beralih menggunakan BBM subsidi.
Agus membeberkan, pemerintah tengah merumuskan regulasi agar penyaluran BBM bersubsidi dapat tepat sasaran.
"Pak Menteri juga udah jelas menyampaikan, ini (aturan BBM subsidi) sedang melakukan kajian agar benar-benar BBM yang bersubsidi itu tepat sasaran," papar Agus.
"Ditentukan siapa yang berhak sesuai dengan kemampuan ekonomi, dan berapa sih mereka tuh kalau dengan tingkat seperti itu konsumsinya berapa. Itu yang sedang dikaji biar nanti pelaksanaannya gak berbelit," pungkasnya.