"Kalau melihat ke tahun 2014, ekspor kita hanya 1,5 miliar dolar AS. Tahun lalu, ekspor kita sekitar 34 miliar dolar AS."
Baca juga: Kebijakan Hilirisasi Dukung Potensi NTT Hasilkan Produk Unggulan dari Rumput Laut
"Percayalah, dengan ekosistem nikel, pada tahun 2030, ekspor kita akan mencapai sekitar 70 miliar dolar AS," katanya dalam seminar "Accelerating the Upstream-Downstream Integration of the Seaweed Industry" di Bali, Rabu (22/5/2024).
Luhut percaya dengan hasil besar yang didapat dari hilirisasi nikel, rumput laut juga bisa mendapatkan keuntungan serupa.
Ia kemudian mengatakan sudah berkomunikasi dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono terkait dengan pilot project atau proyek percontohan dari rumput laut ini.
"Saya sampaikan kepada rekan saya, Menteri Trenggono, mari kita buat pilot project yang terbesar. Kami punya 1.000 hektare, tapi kami akan segera memperluasnya," ujar Luhut.
Ia pun mengatakan proyeksi nilai ekspor rumput laut setelah diterapkan hilirisasi, pada 2033 bisa mencapai 19 miliar dolar AS.
"Jadi, jawabannya mengapa rumput laut? Ini adalah masa depan masyarakat Indonesia dan juga global. Jadi, ayo bergerak," tutur Luhut.
"Saya kira hasil penelitiannya sudah ada. Ada begitu banyak hal, sehingga kita bisa memulai sesuatu," pungkasnya.
Dalam unggahan Instagramnya pada Jumat (27/9/2024), Luhut menyebut Indonesia punya potensi menjadi pemain utama dalam hilirisasi rumput laut (seaweed) di kancah global.
Menurut dia, hilirisasi rumput laut kelak dapat dinikmati 62 persen masyarakat Indonesia yang tinggal di tepi laut.
Luhut juga menyebut hilirisasi rumput laut ini bukan hanya akan memperkuat ekonomi Indonesia, tetapi juga berperan penting dalam mengatasi perubahan iklim global.
Potensi ekonominya pun dipandang sangat besar, bahkan bisa melewati sektor-sektor lain yang selama ini menjadi andalan Indonesia.