TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah diminta berhati-hati dalam membuat kebijakan terkait ojek online (ojol) sehingga industri ini dapat berkembang dan terus memberikan kontribusi positif.
Terlebih, ojol saat ini sangat membantu pemerintah dalam menyerap tenaga kerja dan menggerakan perekonomian.
“Pemerintah perlu berterima kasih kepada industri ini karena turut memberikan kontribusi besar pada PDB, oleh karenanya perlu ada regulasi khusus. Namun harus diatur dengan hati-hati, karena kita harus jaga industrinya tetap tumbuh,” ujar Muhammad Hanif Dhakiri, Wakil Ketua Umum Bidang Ketenagakerjaan di Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) dan anggota DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Hal ini diungkapkan Hanif dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan topik "Menavigasi Keberlanjutan Pekerja Gig di Indonesia" yang diselenggarakan oleh Universitas Brawijaya di Jakarta, Rabu (9/10/2024).
Baca juga: Asosiasi Ojek Online: Regulasi Ojol Jadi Tunggakan PR Pemerintahan Jokowi
Untuk itu ia menekankan bahwa dalam membuat regulasi, pemerintah jangan selalu mengambil jalan pintas dengan membebankan seluruh tanggung jawab kepada perusahaan aplikator.
Sebab menurutnya negara juga perlu hadir dan berkontribusi terhadap kesejahteraan ojol.
“Kesejahteraan adalah kewajiban pemerintah, bukan kewajiban perusahaan. Pemerintah harus terlibat dalam arti yang sebenar-benarnya. Mulai dari akes pelatihan, akses jaminan sosial dan lainnya, kalau perlu kasih subsidi. Pekerja formal iuran jaminan sosialnya ditanggung perusahaan, lalu kalau pekerja gig, siapa?"
"Pemerintah harus berkontribusi juga, jangan hanya memaksa platform atau pekerja yang bayar. Kalau saya ditanya siapa yang bertanggung jawab untuk jamsos? Saya bilang pemerintah, karena konstitusi bilang begitu,” tegas Hanif.
Oleh karenanya, lanjut Hanif, pelatihan yang diberikan pemerintah kepada ojol tidak hanya pada pelatihan berkendara, melainkan juga pada peningkatan keahlian.
“Aksesnya bukan pelatihan berkendara, tapi pelatihan untuk bisa naik kelas, dianggap sebagai wirausahawan, sehingga bisa bangun entitas bisnis yang bagus,” tambahnya.
Hal senada diungkapkan Budi Santoso, Akademisi Universitas Brawijaya.
Menurutnya, berdasarkan rekomendasi International Labour Organization (ILO), hubungan ojol dengan perusahaan memang menunjukkan bahwa pengemudi ojol bukan pekerja.
“Pengertian pekerja itu memang worker yang terdiri dari employee dan self employed. Dan hasil riset kami menunjukkan bahwa saat ini 81 persen pengemudi ojol menjadikan ojek online sebagai pekerjaan utama. Sehingga terdapat kebutuhan peningkatan skill di luar mengemudi untuk meningkatan kapasitas kemampuan pekerja gig ini untuk dapat masuk ke sektor formal atau pekerjaan yang lebih baik,” kata Budi.
Peneliti dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Rani Septyarini menambahkan, pentingnya pemerintah memberikan regulasi yang tepat bagi ojol tentu akan berdampak besar tidak hanya pada para mitra pengemudi ojol, tapi juga bagi kesejahteraan masyarakat secara luas.
Ia mencontohkan hasil penelitian yang dilakukan CELIOS, yang membandingkan antara kabupaten yang memiliki atau terdapat ojol (ride hailing) dengan yang tidak terdapat ojol.
Hasilnya menunjukkan bahwa kabupaten yang memiliki ride hailing, tingkat penganggurannya 37% lebih rendah dibandingkan kabupaten yang tidak punya ride hailing. “Tingkat kemiskinan di kabupaten yang memiliki ride hailing juga turun 18%,” ujar Rani.
Dengan besarnya peran ojol tersebut, tambah Rani, tidak salah jika pemerintah perlu memberikan perhatian lebih kepada industri ini. Termasuk pada peningkatan keahlian para pekerja ojol.
“Pekerja ojol sumbangsihnya sangat besar untuk ekonomi digital, lebih dari Rp 900 triliun dari sisi transaksi. Namun ini adalah pekerjaan transisi, jika tidak ada upskilling, nanti apa yang akan terjadi pada mereka belasan tahun lagi?. Kita harus memikirkan regulasi yang tepat,” katanya.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mengakui kontribusi ojol sangat besar terhadap perekonomian. Oleh karena itu, saat ini Kemenko tengah menggodok regulasi yang tepat terkait hubungan kerja antara pekerja gig dan perusahaan aplikator.
“Tantangan pekerja platform ini memang harus bisa dijawab dengan peraturan Permenaker. Pekerja platform adalah entitas sendiri di luar mitra dan pekerja. Untuk itu perlu dibuat satu aturan Kemenaker yang melibatkan Kemenhub dan juga Kominfo,” kata Nuryani Yunus, Asisten Deputi Harmonisasi Ekosistem Ketenagakerjaan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.