TRIBUNNEWS.COM, BEIJING – Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva memperingatkan China untuk bersiap menghadapi ancaman krisis berkepanjangan dan tak bisa lagi mengandalkan ekspor untuk mendorong pertumbuhan ekonominya.
Pernyataan itu dilontarkan Georgieva setelah pemerintah merilis data pertumbuhan ekonomi China yang terus menunjukan perlambatan pertumbuhan pada kuartal III 2024 sebesar 4,6 persen. Lebih rendah dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai 4,7 persen.
"Saya berpendapat bahwa China berada di persimpangan jalan. Jika mereka melanjutkan ekspor dengan model mereka saat ini, yaitu pertumbuhan yang didorong oleh ekspor, maka akan ada masalah,” kata Georgieva.
Baca juga: Harga Minyak Dunia Anjlok, WTI Diobral 70,39 Dolar AS Per Barel Buntut Bayang-bayang Deflasi China
“Ini terjadi karena ekonomi China telah tumbuh ke titik di mana ekspor Cina tidak lagi menjadi faktor kecil dalam perdagangan global," imbuhnya.
Berita negatif dari China mencuat pasca ekonomi China tumbuh pada laju paling lambat sejak dalam tiga bulan hingga akhir September.
Perlambatan ini tercermin dari menurunnya permintaan domestik, Asosiasi Dealer Mobil China (CADA), dalam keterangan resminya mengungkap bahwa dealer mobil China mengalami kerugian gabungan hampir 20 miliar dolar AS atau sekitar Rp 303,70 triliun setelah konsumen menunda pembelian mobil baru dalam kurun waktu delapan bulan terakhir.
Baca juga: Indonesia Mengalami Deflasi Berbulan-bulan, Jokowi Minta Cek Penyebabnya
Mengindikasikan adanya tekanan deflasi yang semakin meningkat di perekonomian China, Imbas masalah ini Goldman Sachs Group Inc, menurunkan perkiraan mereka terhadap pertumbuhan Tiongkok.
Alasan tersebut yang membuat Investor mulai mempertanyakan efektivitas kebijakan stimulus ekonomi yang diharapkan dapat mengatasi perlambatan ini.
“Langkah-langkah stimulus moneter China gagal untuk menstimulasi dan janji akhir pekan dari kementerian keuangan untuk meminjam lebih banyak banyak berisi klise dan frasa tetapi kurang meyakinkan dan meyakinkan,” kata analis PVM Tamas Varga.
Untuk menekan kerugian Bank Rakyat China berupaya memangkas rasio persyaratan cadangan atau reserve requirement ratio (RRR), jumlah uang tunai yang harus dimiliki bank sebagai cadangan, sebesar 50 basis poin.
Bank juga menurunkan suku bunga reverse repo tujuh hari dari 1,7 persen menjadi 1,5 persen, penurunan sebesar 20 basis poin. Pemotongan ini akan diikuti dengan penurunan suku bunga pinjaman utama (loan prime rate/LPR) dan suku bunga deposito.
Bahkan Bank sentral China juga memotong giro wajib minimum bagi bank, sebesar 0,5 persen dengan tujuan memberikan bank lebih banyak dana untuk disalurkan dalam bentuk pinjaman. Adapun Pemotongan RRR tambahan masih dimungkinkan berlanjut hingga akhir tahun.