News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Sritex Pailit

Bos Sritex Mengaku Bisnisnya Hancur Karena Aturan Pemerintah

Penulis: Lita Febriani
Editor: Hendra Gunawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi pedagang tekstil.

 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Lita Febriani 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Banjir impor ilegal maupun legal berdampak pada terjerembabnya industri tekstil dalam negeri. Yang terbaru ada Sritex harus dinyatakan pailit karena tidak bisa membayar hutang.

Kementerian Perindustrian menyebut kondisi industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) sempat membaik ketika berlaku Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) nomor 36 tahun 2023, yang sekarang diganti dengan Permendag nomor 8/2024.

Sejak diberlakukannya Permendag 8, industri tekstil lokal menjadi kian nelangsa. Komisaris Utama PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) Iwan S Lukminto, menyebut Permendag  8 membuat industri tekstil terdisrupsi terlalu dalam.

Baca juga: Dinyatakan Pailit, KSPI: Sritex Wajib Bayar Upah Buruh

"Permendag 8 itu masalah klasik dan kita sudah tahu semuanya. Jadi lihat saja pelaku tekstil banyak yang kena (tutup). Banyak yang terdisrupsi terlalu dalam sampai ada yang tutup. Jadi sangat signifikan (dampaknya). Tetapi itu semuanya kami serahkan ke kementerian untuk regulasinya," tutur Iwan kepada Wartawan usai bertemu Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta, Senin (28/10/2024).

Baru-baru ini, perusahaan tekstil Sritex dinyatakan pailit lewat putusan perkara Pengadilan Negeri (PN) Semarang dengan nomor 2/Pdt.Sus- Homologasi/2024/PN Niaga Smg pada Senin (21/10/2024). 

Pemerintah tengah berupaya untuk menyelamatkan karyawan Sritex yang saat ini berjumlah sekitar 11.000 orang.

Dalam pertemuan hari ini, Iwan menyebut Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dan pemerintah akan bersama-sama menyiapkan strategi penyelamatan industri tekstil.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini