TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong ditetapkan tersangka korupsi oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait impor gula di Kementerian Perdagangan tahun 2015–2016.
Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menyampaikan, kasus ini mengandung kejanggalan karena kebijakan impor gula merupakan keputusan kolektif yang diterapkan oleh beberapa Menteri Perdagangan di era Presiden Jokowi.
"Sejak 2013, menteri-menteri perdagangan lain, seperti Enggartiasto Lukita, Agus Suparmanto, dan Muhammad Lutfi, juga memberikan izin impor gula dengan alasan yang beragam, dari stabilisasi harga hingga menjaga pasokan dalam negeri," papar Achmad kepada Tribun, Kamis (31/10/2024).
Namun, Achmad menyebut, hanya Tom Lembong yang ditahan, sementara izin impor gula pada masa menteri-menteri lain berjalan tanpa tindakan hukum serupa.
Menurutnuya, keputusan menahan Lembong memberi kesan adanya standar ganda dalam penegakan hukum.
Jika alasan utama penahanan adalah surplus gula pada 2015 saat izin diberikan, maka kondisi serupa pada masa menteri lainnya juga seharusnya dievaluasi.
Hal ini, Achmad menilai semakin aneh mengingat data tahun-tahun berikutnya menunjukkan pola kebijakan yang sama, meskipun pemerintah sering mengklaim swasembada gula atau surplus gula, seperti pada 2018, 2021, dan 2022.
"Namun, izin impor terus diberikan dan bahkan mencapai angka tertinggi pada 2022. Kondisi ini mengundang spekulasi bahwa ada unsur tebang pilih dalam proses hukum terhadap Lembong," ucapnya.
Peran PT PPI dalam Kebijakan Impor Gula
PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), sebuah BUMN, telah aktif dalam impor gula sejak 2009, untuk mengatasi kekurangan stok gula nasional.
Achmad menyampaikan, PPI diberikan mandat untuk menstabilkan persediaan gula domestik, tetapi keanehan muncul ketika tuduhan dari Kejaksaan Agung mengungkap bahwa gula yang diimpor dijual ke pihak swasta, bukan langsung ke publik.
"Jika benar terjadi kekurangan transparansi dalam praktik ini, maka PPI bukanlah satu-satunya pihak yang seharusnya bertanggung jawab, apalagi jika kebijakan impor gula ini telah berlangsung selama satu dekade di bawah berbagai kepemimpinan," katanya.
Lebih lanjut Ia menyampaikan, mengingat bahwa izin impor diberikan oleh berbagai Menteri Perdagangan dalam periode tersebut, logisnya seluruh pihak terkait, termasuk menteri-menteri lain, harus diperiksa.
"Dengan hanya menahan Lembong, proses hukum tampak tidak konsisten," ujarnya.
Pada 2022, impor gula mencapai angka tertinggi selama satu dekade, menunjukkan bahwa pola impor dengan melibatkan PPI tetap berlangsung meskipun kondisi pasokan dalam negeri kerap kali cukup.
"Kebijakan ini hanya membawa Lembong ke meja hijau, sementara menteri-menteri lain yang memprakarsai izin serupa tetap bebas dari tindakan hukum," tuturnya.
Tuduhan Terkait Surplus Gula yang Tidak Konsisten
Kejaksaan menuduh bahwa penetapan Lembong sebagai tersangka terkait dengan izin impor yang diberikan saat Indonesia dalam kondisi surplus gula berdasarkan rapat antarkementerian pada Mei 2015.
Meskipun begitu, kata Achmad, kejanggalan muncul karena keputusan serupa berulang kali dilakukan oleh menteri perdagangan lainnya di era yang sama tanpa konsekuensi hukum.
Misalnya, pada 2018, pemerintah mengumumkan swasembada gula, namun tetap memberikan izin impor sebesar 4,6 juta ton.
Pada 2021 dan 2022, surplus gula nasional kembali diklaim, tetapi angka impor mencapai rekor tertinggi pada 2022 dengan lebih dari 6 juta ton.
"Bahkan kebijakan impor beras menunjukkan pola serupa, pemerintah sering mengklaim swasembada, tetapi tetap mengimpor dengan alasan menjaga harga atau persediaan," tuturnya.
Tuduhan Manipulasi Transaksi dengan PT PPI
Kejaksaan menuduh bahwa Lembong memberikan izin impor gula kristal mentah sebesar 105.000 ton kepada PT AP, sebuah perusahaan swasta, meskipun aturan mengharuskan impor gula dilakukan oleh BUMN.
"Yang menjadi keanehan, Direktur Pengembangan Bisnis PPI, Charles Sitorus, juga ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Jika benar Lembong yang memberikan izin, maka tanggung jawab seharusnya berada padanya, dan peran PPI perlu dipertanyakan secara lebih rinci," paparnya.
Baca juga: Dirdik Jampidsus Abdul Qohar: Sosok Kunci Penetapan Tersangka Tom Lembong dan Suap Ronald Tannur
Sebagai BUMN, Achmad menyampaikan, PPI bertugas melaksanakan kebijakan dan distribusi gula yang diimpor sesuai izin dari kementerian, bukan untuk mengalihkan distribusi ke pihak swasta.
"Tuduhan bahwa PPI menjual gula yang seharusnya didistribusikan ke masyarakat tanpa koordinasi juga menimbulkan pertanyaan," ucapnya.
"Jika PPI aktif dalam distribusi atau transaksi yang melanggar aturan, maka semestinya tanggung jawab operasional berada pada PPI, dan peran Lembong seharusnya terbatas pada pemberian izin," sambungnya.
Ia menyampaikan, tuduhan ini menimbulkan asumsi bahwa keterlibatan PPI dalam impor gula mungkin lebih besar dari sekadar pelaksana kebijakan dan bahwa dinamika internal PPI juga berpotensi mempengaruhi arah kasus ini.
Lebih lanjut Achmad mengatakan, kejanggalan-kejanggalan dalam kasus ini menunjukkan adanya ketidakkonsistenan dalam penegakan hukum.
"Untuk menjaga kredibilitas lembaga penegak hukum, sangat penting memastikan bahwa setiap pihak yang memiliki tanggung jawab atau pengaruh dalam pelaksanaan impor gula diperiksa," papar Ahcmad.
"Tanpa pemeriksaan menyeluruh, tindakan menahan Lembong seorang diri tampak sebagai upaya pengalihan tanggung jawab dan mencerminkan standar ganda dalam proses hukum," sambungnya.
Rugikan Negara Rp400 Miliar
Tom Lembong diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp400 miliar terkait kasus dugaan korupsi dalam kegiatan importasi gula di Kementerian Perdagangan tahun 2015–2016.
Kejagung telah menetapkan Tom Lembong dan eks Direktur PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) inisial CS dalam perkara itu.
"Kerugian negara akibat perbuatan importasi gula yang tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, negara dirugikan kurang lebih Rp 400 miliar," ucap Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar dalam jumpa pers di kantornya, Jakarta Selatan, Selasa (29/10/2024) malam.
Dijelaskan Abdul Qohar, Tom Lembong diduga memberikan izin kepada PT AP untuk mengimpor gula kristal mentah sebesar 105.000 ton pada 2015.
Padahal, saat itu Indonesia sedang surplus gula sehingga tidak membutuhkan impor.
"Akan tetapi di tahun yang sama, yaitu tahun 2015 tersebut, menteri perdagangan yaitu Saudara TTL memberikan izin persetujuan impor gula kristal mentah sebanyak 105.000 ton kepada PT AP yang kemudian gula kristal mentah tersebut diolah menjadi gula kristal putih," kata Qohar.
Selain itu, Qohar menyatakan, impor gula yang dilakukan PT AP tidak melalui rapat koordinasi (rakor) dengan instansi terkait serta tanpa adanya rekomendasi dari kementerian-kementerian guna mengetahui kebutuhan riil.
Tak hanya itu, perusahaan yang dapat mengimpor gula seharusnya hanya BUMN.