Sementara bagi Indonesia menurut dia, dengan mempertimbangkan kemunculan tren ragam teknologi dalam dekarbonisasi maka memiliki peluang untuk menguasai rantai pasok kendaraan berteknologi listrik dan mesin flexy. Selain itu, Indonesia dapat memanfaatkan cadangan nikel guna memproduksi baterai listrik yang diperlukan untuk mobil listrik dan hybrid.
Pasar mobil listrik sendiri menurut Cyrillus secara global sebetulnya juga masih relatif terbatas saat ini. Bukan hanya di Indonesia saja tetapi juga pasar global. Jadi dari sisi industri mobil di Indonesia menurut dia, tetap melanjutkan bisnis yang ada saat ini sambil secara bertahap melakukan transisi melalui pengembangn industri mobil yang memiliki pasar yang besar, seperti mobil hybrid.
Data penjualan mobil di Amerika selama 2023 telah mengkonfirmasi lonjakan signifikan minat masyarakat terhadap mobil hybrid. Kenaikan drastis ini mengindikasikan pergeseran preferensi konsumen menuju kendaraan yang lebih efisien dan ramah lingkungan. Dengan semakin populernya mobil hybrid maka peluang untuk menghadirkan inovasi baru pun semakin terbuka lebar.
Bahkan, segmen LCGC yang selama ini identik dengan mobil berharga terjangkau, kini berpotensi untuk dihadirkan dalam varian hybrid sehingga menandakan bahwa teknologi ramah lingkungan semakin inklusif dan dapat diakses oleh berbagai kalangan masyarakat.
Melawan Arus
Chyrillus menyadari kehadiran bukunya tersebut seakan melawan arus, yakni tren mobil listrik dianggap satu-satunya yang bisa menyelesaikan persoalan emisi karbon. Namun dia menekankan pentingnya memahami bahwa teknologi otomotif ramah lingkungan tidak hanya terbatas pada mobil listrik.
“Secara global, saat ini hampir semua sepakat bahwa teknologi otomotif ramah lingkungan tidak semata mobil listrik. Itu tergantung dari masing-masing negara. Norwegia yang listriknya dikatakan hampir 100 persen hijau karena menggunakan pembangkit tenaga air (hydro power), bisa benar-benar ramah lingkungan,” ungkapnya.
Namun sebaliknya bagi Indonesia, justru kondisi saat ini menyajikan banyak pilihan yang sesuai. “Saya awalnya tidak aware dan dogmatis sekali, pokoknya mobil listrik adalah mobil yang ramah lingkungan. Namun akhirnya menjadi paham bahwa mobil LCGC bisa menjadi ramah lingkungan dibandingkan mobil listrik yang ada. Begitu pula mobil hybrid dan mobil flexy,” tegasnya.
Penerapan paradigma inipun dinilai Cyrillus semakin mendesak, sebab Indonesia dihadapkan dengan target Nationally Determined Contribution (NDC) pada 2030 sebelum beranjak mencapai visi NZE di 2060.
“Kalau kita bicara mengenai NDC 2030, kembali lagi berkaitan dengan pembangkit energinya, itu tinggal lima hingga enam tahun lagi. Jadi dari situ sebetulnya mobil non listrik yang ramah lingkungan masih menjadi pilihan yang harusnya preferable untuk pencapaian NDC 2030, karena bisa 50?rbon free, tetapi gagasan ini seperti melawan arus,” tutupnya.