"Terutama revisi tentang pasal-pasal ketenagakerjaan dan yang lebih parah lagi MK mengisyaratkan harus dibuat undang-undang yang baru dalam waktu 2 tahun," ucap Harijanto.
"Nah dalam 2 tahun masa undang-undang yang dibuat, orang enggak akan mau investasi. Pengusaha semuanya pun pasti mikir, nunggu aja 2 tahun lagi seperti apa, akan gitu kurang lebih," sambungnya.
Ketidakhadiran investor selama kurun waktu itu mengkhawatirkan karena industri sepatu sangat sensitif terhadap biaya tenaga kerja.
Harijanto mencontohkan jika ada 20 ribu orang karyawan dengan gaji Rp 3 juta per bulan, berarti dalam satu bulan perusahaan tersebut harus mengeluar Rp 60 miliar.
"Jadi ini merupakan satu industri bersama-sama dengan garmen, sepatu ini adalah industri padat karya yang very sensitif terhadap tenaga kerja karena labor cost contribution ini sudah di atas 20 persen," jelasnya.
Ia juga menjelaskan bahwa industri padat karya di Indonesia sangat penting karena mampu menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat yang hanya memiliki latar belakang pendidikan SD hingga SMP.
Jadi, ia merasa prihatin dengan keputusan MK ini. Investor disebut pasti merasakan kekecewaan yang tinggi. Bagi investor yang sudah menanamkan modal di Indonesia, dinilai akan merasa terjebak.
"Mereka seperti terjebak ya gitu. 3 tahun masuk, lalu diubah (peraturannya). Kalau 20 tahun ada perubahan, mungkin orang masih bisa menerima," pungkas Harijanto.
Sebagaimana diketahui, Majelis Hakim Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan uji materil undang-undang Cipta Kerja yang diajukan oleh Partai Buruh dan sejumlah serikat buruh lainnya dalam sidang pengucapan putusan di gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta Pusat pada Kamis (31/10/2024).
Pihak Partai Buruh mencatat terdapat setidaknya 21 norma dari tujuh isu dimohonkan yang dikabulkan oleh Majelis Hakim Konstitusi.
Tujuh isu tersebut adalah upah, outsourcing, PKWT atau karyawan kontrak, PHK, pesangon, cuti dan istirahat panjang, dan tenaga kerja asing.
Dalam putusannya, MK juga memerintahkan agar kluster ketenagakerjaan dikeluarkan dari UU CiptaKerja.
MK meminta pembentuk UU, yakni DPR dan pemerintah menyusun UU Ketenagakerjaan baru dalam waktu maksimal dua tahun.
MK meminta agar substansi UU Ketenagakerjaan baru menampung materi yang ada di UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No 6/2023, dan sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi.