TRIBUNNEWS.COM - Sejak Oktober 2021, lebih dari 280 juta burung telah mati akibat flu burung H5N1 yang mematikan. Wabah ini menjadi salah satu bencana terbesar dalam sejarah hilangnya satwa liar, dengan dampak yang sangat luas. Selain memengaruhi spesies burung, wabah ini juga menyerang spesies terancam punah dan menginfeksi mamalia, ada kekhawatiran bahwa virus ini bisa menyebar ke manusia. Act for Farmed Animals (AFFA), Koalisi NGO Sinergia Animal dan Animal Friends Jogja, mendesak pemerintah untuk mengatasi akar penyebab krisis ini: peternakan industri intensif atau peternakan pabrik yang menciptakan kondisi ideal bagi penyebaran penyakit seperti flu burung.
Krisis Global yang Diabaikan
H5N1 pertama kali ditemukan pada tahun 1996 di sebuah peternakan angsa di China. Sejak saat itu, virus ini telah menyebar ke seluruh dunia dan semakin berbahaya. Wabah ini telah menyebabkan kematian massal pada burung, termasuk 40% pelikan Dalmatian di Eropa Tenggara dan hampir seluruh generasi singa laut serta anjing laut di Amerika Selatan. Hingga kini, virus flu burung telah menginfeksi setidaknya 485 spesies burung dan 48 spesies mamalia, yang menimbulkan kerusakan serius terhadap satwa liar dan ancaman terhadap biodiversitas.
“Para ahli sepakat bahwa krisis ini memerlukan perhatian global yang mendesak. Meskipun penularan H5N1 antar manusia masih jarang terjadi, virus ini berpotensi bermutasi dan berkembang lebih berbahaya, sama halnya dengan COVID-19,” ungkap Among Prakosa, Direktur Pengelola AFFA. “H5N1 memiliki tingkat kematian 50% pada manusia, jauh lebih mematikan dibandingkan COVID-19 yang hanya 1,7%. PBB dan Centers for Disease Control and Prevention (CDC) telah mengeluarkan peringatan mengenai potensi bahaya ini,” tambah Among.
Sebuah studi terbaru dari Universitas Harvard mengungkapkan kaitan erat antara peternakan industri dan risiko penyakit zoonotik (penyakit yang dapat berpindah dari hewan ke manusia). Laporan tersebut merekomendasikan pengurangan industri peternakan hewan intensif secara global sebagai langkah penting untuk mengurangi ancaman pandemi di masa depan.
Baca juga: Penyakit Flu Burung H5N1 Pertama Kali Ditemukan Pada Seekor Babi di AS
Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) juga mengonfirmasi hal ini, menegaskan bahwa peternakan industri intensif berpotensi memicu pandemi berikutnya jika tidak ada perubahan signifikan dalam praktik-praktik tersebut.
Indonesia: Garda Depan Perang Melawan Flu Burung
Tahun 2024 ini wabah flu burung kembali merebak di berbagai belahan dunia, dan Indonesia juga masih merupakan daerah endemis Flu Burung. Setiap tahun sejak 2005, sebagian besar wabah terjadi di belahan bumi utara, kecuali, menurut data World Organisation for Animal Health (WAHIS) , tiga tahun berturut-turut, pada tahun 2008, 2009, dan 2019 Indonesia menjadi negara yang melaporkan jumlah wabah akibat unggas, terbanyak.
Peternakan industri dengan kondisi yang padat dan kurang higienis, menciptakan lingkungan yang ideal bagi penyebaran penyakit seperti H5N1. Hewan-hewan hidup dalam kepadatan ekstrem dengan langkah-langkah biosekuriti yang minim, memperburuk potensi penularan penyakit tersebut.
Indonesia mencatat jumlah kasus dan kematian akibat flu burung (H5N1) tertinggi di dunia. Sejak virus ini pertama kali terdeteksi pada burung di awal tahun 2004, Indonesia menjadi pusat perhatian dalam upaya pengendalian wabah. Lebih dari 29 juta burung di seluruh Indonesia dimusnahkan sebagai langkah penanggulangan.
Kini, pemerintah terus memperkuat pengawasan dan langkah pencegahan, terutama setelah laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang infeksi H9N2 terbaru di India. Upaya ini menegaskan komitmen Indonesia dalam melindungi kesehatan masyarakat dan mencegah penyebaran virus ini lebih luas.
Berhenti Dukung Peternakan Industri: Solusi Krisis H5N1
AFFA menegaskan bahwa solusi untuk krisis H5N1 sudah jelas: akhiri peternakan pabrik. Sistem ini menciptakan kondisi ideal bagi penyakit untuk berkembang dan menyebar ke manusia yang mengancam kesehatan global. Untuk itu, AFFA mengajak semua pihak untuk bersama-sama mengambil langkah nyata: meningkatkan kesejahteraan hewan, memperkuat biosekuriti, dan beralih ke sistem pangan berbasis nabati. Solusi ini bukan hanya lebih sehat untuk manusia, tetapi juga lebih ramah bagi bumi yang kita tinggali bersama.
Di Indonesia,salah satu inisiatif untuk mempromosikan makanan berbasis nabati dan pola hidup sehat adalah Nutrisi Esok Hari. Sejak inisiasi ini di mulai di tahun 2021, Nutrisi Esok Hari telah bekerjasama dengan 16 institusi di Indonesia. Melalui inisiatif ini, institusi mendapatkan dukungan dan panduan gratis untuk menggantikan produk hewani dengan alternatif berbasis nabati.
Baca juga: NGO Ungkap Bantuan ke Gaza Menurun Akibat Israel Permudah Penjarahan dengan Serang Polisi Lokal
“Krisis flu burung ini adalah bukti nyata bahaya dari pola hidup yang tidak berkelanjutan serta industri peternakan intensif,” kata Among. “Sudah saatnya kita menghentikan pendanaan untuk praktik-praktik merusak ini dan mulai berinvestasi dalam alternatif berbasis nabati yang lebih manusiawi, berkelanjutan, dan melindungi kesehatan serta keanekaragaman hayati.”
Cari tahu lebih lanjut mengenai inisiatif berkelanjutan di nutrisiesokhari.org