TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Obat Molnupiravir direncanakan akan tiba di Indonesia pada Desember 2021 ini.
Kehadiran obat besutan produsen Merck, Amerika Serikat tersebut salah satu untuk mengantisipasi gelombang ketiga Covid-19 yang diprediksi terjadi akhir atau awal tahun nanti.
Lantas pasien dengan kriteria seperti apa yang bisa menerima obat ini?
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono menjelaskan, Molnupiravir merupakan golongan obat antivirus yang memiliki fungsi untuk menghambat virus untuk bereplikasi.
Hasil uji klinis tahap 3 Molnupiravir ini rumah sakit dan menurunkan angka kematian sebanyak 50 persen pada kasus ringan.
"Sekali lagi ini untuk kasus ringan, bukan kasus sedang dan kasus berat," katanya dalam kegiatan virtual, Minggu (31/10/2021).
Meski demikian, Dante menegaskan kehadiran obat antivirus ini bukan game of changer atau pengubah situasi dalam menghadapi pandemi Covid-19.
Baca juga: Sekretaris Pers Gedung Putih Jen Psaki Terpapar Covid-19
"Game of changer-nya adalah mosaik yang terbentuk mulai dari protokol kesehatan yang baik, vaksinasi yang cepat dan pengobatan mumpuni," katanya.
Sementara itu, Ahli epidemiologi Pandu Riono dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) menegaskan, manfaat vaksinasi jauh lebih baik daripada obat.
Ia mengatakan, vaksinasi sebagai upaya untuk mencegah agar tidak terinfeksi Covid-19 yang parah bahkan kematian.
"Terus terang semua jenis vaksin Covid-19 jauh lebih bermanfaat dibanding molnupiravir yang diduga bermanfaat pada 5 hari pertama setelah terinfeksi dan hanya yang bergejala sedang. Efeknya jauh lebih baik untuk mencegah kena Covid-19 yang parah dan kematian. Fokus pada vaksinasi," ujar Pandu.
Baca juga: 73 Juta Orang Indonesia Sudah Disuntik Vaksin Covid-19 Dosis Lengkap, 35% dari Target
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mengatakan sampai saat ini Merck belum memberikan rincian harga pasti mengenau obat Molnupiravir.
"Ada yang mengatakan satu pil itu atau satu siklus terapi itu bisa mencapai USD 700 (Rp 9,9 juta). Tetapi kita akan tunggu, karena sampai saat ini Merck belum memberikan harganya dan kepastiannya berapa," kata Nadia.
Nadia juga memastikan pemerintah tidak akan bersikap kaku.