TRIBUNNEWS.COM – Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI Fadli Zon mendesak harus ada langkah terobosan untuk memulihkan demokrasi di Myanmar. Kudeta terhadap demokrasi setahun lalu di Myanmar tentu mengganggu stabilitas dan kohesivitas ASEAN.
Fadli Zon beberapa waktu lalu diundang menjadi pembicara dalam Webinar yang diselenggarakan Parlemen Eropa dalam rangka memperingati satu tahun Kudeta yang dilakukan oleh Junta Militer di Myanmar.
Webinar berjudul ‘’Webinar of the European Parliament, one-year anniversary of the Myanmar coup’’ tersebut juga dihadiri Duta Besar Uni Eropa untuk Myanmar Yang Mulia Ranieri Sabatuci, Perwakilan Parlemen Myanmar di Pengasingan (CRPH) Daw Myat Thida Htun, Jurnalis Myanmar pemenang Pulitzer Aye Min Tant, dimoderatori oleh Direktur Hubungan Antar Parlemen Parlemen Eropa - Asia Tenggara, Antoine Ripoll.
Dalam paparannya Ketua BKSAP DPR RI menjelaskan bahwa dari perspektif politik dan keamanan, sebagai lingkungan strategis Indonesia, stabilitas, perdamaian dan keamanan Kawasan Asia Tenggara sangatlah penting.
Demokratisasi di kawasan menurutnya juga memiliki peran sentral dalam menjamin tercapainya agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SDGs). Namun, perkembangan terkini di Myanmar masih jauh dari harapan.
Kekerasan oleh Junta Militer masih berlangsung mengakibatkan jatuhnya korban masyarakat sipil yang tak sedikit. Potensi pecahnya perang sipil dalam skala besar, menjadi tak mudah untuk memelihara stabilitas, perdamaian dan keamanan yang diperlukan kawasan Asia Tenggara.
Selain itu, dampak krisis di Myanmar ini sangat signifikan terhadap ekonomi, kemiskinan, keamanan pangan dan keamanan kesehatan di masa pandemi COVID-19 ini.
Politisi Gerindra itu juga mengingatkan bahwa makin krisis berkepanjangan, makin sulit menyelesaikan masalah kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya sejak tahun 2017. Menurutnya, secara keseluruhan dampak krisis karena kudeta Junta Militer Myanmar tersebut, berpeluang meluas dan mengganggu stabilitas kawasan.
Anggota Komisi I DPR RI bidang Pertahanan, Politik Luar Negeri, Intelijen serta Informasi tersebut juga menegaskan bahwa harus ada sanksi tegas terhadap Junta Militer Myanmar bila mereka tak mau menerapkan Five-Point Consensus of ASEAN.
Sanksi juga harus dikenakan karena junta militer menunjukkan sikap tak memedulikan demokrasi. BKSAP DPR RI mendukung sikap ASEAN yang hanya memperbolehkan Myanmar untuk diwakili utusan non-politis dalam setiap sidang ASEAN.
Sedangkan untuk sidang Organisasi Parlemen se-ASEAN (AIPA), Myanmar hanya diperkenankan hadir sebagai peninjau. Junta Militer telah membubarkan dengan paksa Parlemen terpilih Myanmar saat melakukan pengambilalihan kekuasaan secara inkonstitusional.
Lebih lanjut, Fadli Zon juga menyampaikan bahwa jika situasi di Myanmar tetap tak menunjukkan perkembangan berarti, maka sebaiknya ASEAN mempertimbangkan menunda status keanggotaan Myanmar di ASEAN sampai Five-Point Consensus ASEAN benar-benar dilaksanakan.
Bahkan menurutnya, ASEAN ke depan hendaknya dapat mengaplikasikan mekanisme pengambilan keputusan alternatif, yaitu melalui voting jika terkait persoalan-persoalan intra-kawasan yang sifatnya darurat. Dengan demikian, stabilitas kawasan dapat terus dijaga. Hal utama yang dibutuhkan anggota ASEAN saat ini adalah stabilitas.
Sementara itu, Perwakilan Parlemen Myanmar di pengasingan (CRPH) Daw Myat Thida Htun menyampaikan, bahwa situasi terkini di Myanmar masih jauh dari hal-hal yang dituntut oleh Five-Point Consensus ASEAN.
Pihaknya menyampaikan kekecewaan atas komentar Perdana Menteri Kamboja Hun Sen paska kunjungannya ke Myanmar, yang mengatakan bahwa situasi di Myanmar sangat membingungkan karena terdapat dua pemerintahan, yaitu Junta Militer dan pemerintahan bayangan yang direpresentasikan oleh National Unity Government (NUG).
Bagi CRPH, pemerintahan Junta Militer jelas tidak sah dan tidak mewakili rakyat Myanmar. ‘’Seharusnya Hun Sen bertemu dengan NUG bukan Junta Militer,’’ demikian disampaikannya.
Di sisi lain, CRPH menyampaikan sangat berterima kasih kepada Indonesia atas perannya di ASEAN, serta secara spesifik pada BKSAP DPR RI yang menunjukkan dukungannya terhadap pemulihan demokrasi di Myanmar pada forum AIPA.
CRPH juga berterima kasih pada negara-negara ASEAN yang terus berupaya untuk mendesak agar Junta Militer segera menerapkan Five-Consensus ASEAN seperti Indonesia, Malaysia, Singapura dan Filipina.
Menanggapi CRPH, Ketua BKSAP menyampaikan bahwa ke depan, setelah Gerakan Demokrasi di Myanmar berhasil memulihkan pemerintahan sipil yang sah, maka semua pihak termasuk kelompok etnis di Myanmar seperti Rohingya harus dilibatkan dalam proses perumusan Konstitusi baru.
Sehingga demokrasi di Myanmar dapat berkembang menjadi demokrasi yang inklusif.
Di samping itu, Ketua BKSAP juga menyampaikan bahwa ia akan terus konsisten dalam menyuarakan pemulihan demokrasi di Myanmar, serta meminta Pemerintah Republik Indonesia untuk terus mendesak Junta Militer agar segera menjalankan Five-Point Consensus ASEAN yang secara keseluruhan fokus pada: 1) Perlindungan masyarakat sipil 2) Pemulihan demokrasi dan 3) Urgensi pemeliharaan stabilitas Kawasan. (*)