TRIBUNNEWS.COM - Anggota Komisi IX DPR RI Arzeti Bilbina mengecam keterlibatan oknum tenaga kesehatan (nakes) yang melakukan praktik perdagangan bayi dengan modus adopsi.
Atas dasar itu, ia mendorong pelaku yang memanfaatkan fasilitas kesehatan (faskes) untuk melakukan kejahatan tersebut agar dihukum seberat-beratnya.
“Faskes dan nakes seharusnya tidak melibatkan diri dalam kemudahan-kemudahan agar pasangan di luar nikah tidak menggampangkan persoalan dalam memiliki bayi. Maka dari itu, nakes dan faskes yang terlibat dalam kasus perdagangan bayi berkedok adopsi ini harus diberikan sanksi berat agar ada efek jera,” ungkap Arzeti, dikutip dari keterangan persnya, Selasa (16/5/2023).
Untuk diketahui, berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan Harian Kompas, ditemukan bahwa adanya sejumlah praktik perdagangan bayi yang dilakukan sejak bayi berada di dalam kandungan.
Dari penelusuran tersebut, keterlibatan nakes pada praktik perdagangan bayi berkedok adopsi itu ditemukan berada di Jawa Timur, Banten, dan DKI Jakarta.
Salah satu modus yang dilakukan adalah dengan cara bidan membujuk ibu yang melahirkan anaknya di luar nikah. Kemudian dokter melegalisasi dokumen hingga mencarikan orang tua asuh lewat jalur tidak resmi.
Biaya pembelian bayi baru lahir bisa mencapai puluhan juta rupiah yang dipakai untuk mengganti biaya persalinan dan pengurusan surat keterangan kelahiran.
Praktik seperti itu di antaranya terjadi di Probolinggo, Jawa Timur, di mana sebuah klinik yang dikelola dokter kandungan diduga kuat menerima layanan adopsi anak.
Dalam investigasi yang sama, praktik serupa juga terjadi di sebuah klinik bidan di Cilincing, Jakarta Utara. Terdapat laporan seorang ibu yang terindikasi dipaksa pihak klinik untuk menyerahkan bayinya lantaran tidak mampu membayar biaya persalinan.
Sang ibu tidak kuasa menolak desakan bidan yang bekerja di klinik tersebut hingga akhirnya menandatangani surat adopsi anaknya.
Melihat kasus tersebut, Arzeti pun mendorong pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk mengawasi dengan ketat faskes-faskes pelayanan persalinan di seluruh daerah. Baik itu klinik pribadi atau rumah sakit agar tidak lagi terjadi adanya kasus perdagangan bayi bermodus adopsi.
“DPR tidak akan tinggal diam terkait hal ini. Kami menuntut tindakan dari pemerintah dan penegak hukum. Kejahatan tersebut sangat sistematis dan merupakan sindikat jaringan. Memanfaatkan kejadian kehamilan di luar nikah dan ketidakmampuan masyarakat membayar persalinan, sangat tidak bisa ditolerir,” tegas Arzeti.
Kepada para calon orangtua yang sedang menantikan kehadiran buah hati, Arzeti mengimbau untuk mengikuti aturan yang berlaku jika ingin menempuh jalur adopsi.
Hal yang sama juga berlaku bagi perempuan yang melahirkan anak di luar nikah, dan memutuskan menyerahkan anaknya untuk diadopsi orang lain.
“Tidak ada pembenaran untuk menjual bayi, apapun alasannya. Apabila memang hendak menyerahkan anak untuk diadopsi, gunakan cara-cara benar yang legal,” ujarnya.
Praktik perdagangan bayi, kata dia, diketahui juga terjadi karena permasalahan sosial ekonomi. Seperti karena orangtua yang sudah memiliki banyak anak dan tidak lagi sanggup menafkahi buah hatinya karena terhimpit masalah ekonomi, sehingga memutuskan menjual anaknya.
“Banyak juga kejadian jual beli bayi dilakukan karena orangtua yang menginginkan anak tidak sabar mengikuti prosedur pengadopsian anak. Untuk itu, Komisi IX yang membidangi urusan kesehatan tersebut meminta pemerintah mempermudah dan menyederhanakan proses dalam tahapan proses adopsi,” katanya.
Dalam proses adopsi anak, lanjut dia, pemerintah daerah telah menyiapkan tim Pertimbangan Perizinan Pengangkatan Anak (TP3A) yang akan melakukan penilaian terhadap calon orang tua adopsi.
“Untuk keamanan dan kenyamanan pihak-pihak terkait, memang diperlukan berbagai langkah yang sangat rigid. Tapi penyederhanaan perlu dipertimbangkan agar praktik adopsi ilegal tidak semakin menjamur,” ujarnya.
“Dengan kemudahan prosedur adopsi anak, kami di DPR berharap tidak ada lagi orang tua yang hendak mengadopsi dengan memilih cara ilegal untuk mendapatkan anak. Pemerintah harus betul-betul memfasilitasi,” tambahnya.
Masalah pengangkatan anak juga belum dianggap serius di Indonesia. Sebab dilaporkan, sebagian pemerintah daerah tidak mengalokasikan anggaran cukup untuk memproses pengangkatan anak, sehingga sidang tim pertimbangan perizinan pengangkatan anak (TIPA) tidak bisa digelar. Sidang TIPA sendiri adalah salah satu tahapan proses pengangkatan anak melalui jalur legal.
“Komisi IX DPR mendorong pemerintah untuk lebih serius dalam mengalokasikan anggaran mengenai proses pengangkatan anak. Karena sebenarnya ada banyak pasangan menikah yang bersedia mengadopsi anak tapi terhalang karena persoalan-persoalan administrasi seperti ini,” ucapnya.
Soroti adanya perdagangan anak lewat sindikat luar negeri
Lebih lanjut, Arzeti menyoroti adanya praktik-praktik perdagangan anak melalui sindikat luar negeri. Sebab ada juga beberapa kasus ditemukan perdagangan bayi hingga ke luar negeri. Pihaknya pun mengaku khawatir dengan nasib bayi-bayi yang ditampung di tempat tidak semestinya oleh kelompok sindikat perdagangan anak.
“Kita harus serius menangani permasalahan ini. Pemerintah juga harus memastikan nasib anak-anak yang tidak jadi diadopsi. Harus ada jaminan keselamatan untuk bayi atau anak yang menjadi korban perdagangan oleh pihak tidak bertanggung jawab,” tuturnya.
Sebagai informasi, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat kasus perdagangan bayi dalam tiga tahun terakhir mengalami kenaikan, meski di tahun 2022 terjadi penurunan. Di tahun 2020 terdapat 213 kasus, tahun 2021 terdapat 406 kasus dan tahun 2022 terdapat 219 kasus.
Sedangkan, Komnas Perlindungan anak mengurai pada tahun 2021 terdapat 11 kasus perdagangan anak dan bertambah pada tahun 2022 dengan 21 kasus.
Oleh karena itu, Arzeti meminta sinergitas dari seluruh stakeholder dalam memerangi kasus perdagangan bayi. Ia berharap dengan kerja sama dan upaya pemangku kebijakan serta kontribusi dari masyarakat, praktik penjualan bayi tidak semakin merajalela.
“Dengan meningkatkan kesadaran, melaporkan dugaan, dan bekerja sama dengan lembaga terkait, masyarakat dapat berperan dalam melindungi hak-hak anak dan mencegah praktik perdagangan bayi,” kata Arzeti.
Sementara itu untuk penegak hukum, Arzeti meminta agar kasus-kasus perdagangan bayi berkedok adopsi diusut tuntas sampai ke akar-akarnya.
Ia juga mengingatkan Kemenkes untuk bekerja sama dengan Kementerian Sosial, Kementerian Luar Negeri, dan pihak kepolisian untuk melakukan pengawasan.
“Pihak yang berwenang pun diingatkan untuk menggencarkan sosialisasi agar masyarakat tidak takut melaporkan apabila menemukan indikasi nakes atau faskes yang melakukan praktik adopsi anak ilegal. Sebab, adopsi ilegal telah melanggar Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak,” katanya.
Bertepatan dengan Hari Ibu Internasional yang diperingati setiap tanggal 14 Mei, Arzeti mengajak semua perempuan di Indonesia untuk menempuh cara yang benar jika hendak memiliki anak. Ia memahami beratnya penantian orangtua yang menunggu kehadiran anak, termasuk bagi perempuan-perempuan yang mengalami kondisi hamil di luar nikah.
“Tapi adopsi ilegal adalah salah. Sebagai perempuan dan ibu, saya memahami beratnya permasalahan-permasalahan tersebut. Saya mengerti pedihnya menantikan kehadiran buah hati. Saya juga berempati terhadap perempuan yang hamil di luar nikah. Meski salah, pasti tidaklah mudah bagi mereka,” ujarnya.
“Tapi percayalah, masih ada solusi-solusi di luar tindakan penjualan anak. Ada berbagai layanan dari Pemerintah dan organisasi masyarakat yang bersedia mendampingi dan membantu memberikan jalan keluar dengan cara yang benar,” tutup ibu tiga anak itu.