TRIBUNNEWS.COM, MEKKAH - Tak hanya mengubah sistem administrasi haji lewat e-Hajj, pemerintah Saudi Arabia juga memberlakukan regulasi baru untuk proses pengambilan data calon jemaah haji di bandara, baik Bandara International King Abdul Aziz (Jeddah) maupun Bandara Prince Muhammad Abdul Aziz (Madinah). Namanya e-Passport.
Dengan e-Passport ini, proses pengambilan data memakai alat khusus yang disinkronkan dengan data jemaah saat pembuatan visa di tanah air. Penerapan e-Passport ini melibatkan Kedutaan Besar Arab Saudi di Jakarta, Kemenlu Saudi dan imigrasinya di bandara.
Terkait dengan proses yang dijalani Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Daerah Kerja Mekkah di bandara Jeddah, ada pengalaman menarik sekaligus 'memilukan' yang dialami dua orang wartawan media televisi nasional saat menjalani proses keimigrasian di bandara International King Abdul Aziz Jeddah.
419 orang petugas PPIH Daerah Kerja Mekkah diberangkatkan dalam dua penerbangan. Yaitu 31 Agustus 2014 pukul 11.45 WIB dan 16.30 WIB. Pertimbangannya adalah kapasitas pesawat.
Saat itu, rombongan pertama yang terdiri dari 45 orang, tiba di bandara International King Abdul Aziz Jeddah, pukul 17.30 Waktu Arab Saudi. Karena jumlah yang relatif sedikit, proses di keimigrasian bandara berlangsung singkat. Tentunya ada juga faktor e-passport yang membuat prosesnya lebih cepat.
Namun peristiwa tak terduga menimpa dua wartawan televisi terkemuka. Saat menjalani pemeriksaan barang bawaan via x-ray, petugas melihat ada kamera besar jenis Sony PMW 150. Kamera itu sengaja tidak dimasukkan dalam tas dengan alasan prosedur operasional standar.
Petugas lalu menanyakan izin membawa kamera tersebut. Dengan mencampur bahasa Inggris dan 'bahasa Tarzan' karena tidak bisa berbahasa Arab, wartawan itu menjelaskan bahwa mereka telah membawa izin dari medianya. Namun petugas bandara meminta izin resmi dari pemerintah Saudi Arabia.
Tak bisa menunjukkan izin yang dimaksud, keduanya lalu dibawa ke ruang bea cukai (customs) bandara. Belakangan, Kasi Media Center Haji Daker Mekkah, Rosidin Karidi, juga ikut mendampingi. Ternyata, pihak bandara tak bergeming.
Masalah tak berhenti di sana. Belakangan petugas juga memeriksa tas wartawan itu, dan menemukan piranti canggih untuk siaran langsung televisi, bernama Aviwest. Piranti berharga ratusan juta rupiah ini mereka curigai untuk kepentingan militer.
"Mereka mengira Aviwest itu teknologi militer BGAN milik pemerintah Israel. Kami jelaskan Aviwest adalah alat untuk melakukan siaran langsung dan mengirim file, yang menggunakan data internet lokal. Namun tetap saja mereka tidak menerima dengan pertimbangan belum ada izin dan curiga itu teknologi militer," kata salah satu wartawan.
Akhirnya, pihak bandara memutuskan menyita kamera dan Aviwest. Pusinglah dua wartawan itu. Setelah menerima surat penyitaan, mereka 'putar otak' sekeras-kerasnya untuk bisa mengambil kembali 'peralatan tempur jurnalistik' itu.
Keesokan harinya, tim Media Center Haji (MCH) mencoba berkomunikasi dengan pihak kantor Tata Usaha Haji (TUH) Indonesia di Jeddah. Setelah melalui beberapa tahapan, terbitlah surat dari TUH. Namun surat itu rupanya 'kurang sakti'. Beberapa hari bolak-balik ke bandara, tidak ada perkembangan berarti.
Akhirnya informasi ini sampai pada pihak Konsulat Jenderal RI (KJRI) di Jeddah. Pada ikhtiar selanjutnya, kedua wartawan itu didampingi Kurniawan, Protokoler di TUH yang juga pegawai di KJRI, yang paham medan dan fasih berbahasa Arab.
Mereka kemudian menemui General Commission for Audiovisual Media, Kingdom of Saudi Arabia, Mohammaed Ali Al-Amri. Setelah dua kali pertemuan dilakukan, Al-Amri meminta mereka menemui atasannya.
"Kami lalu menemui Dirjen Ministry of Culture and Information Kerajaan Saudi Arabia. Alhamdulillah beliau memberikan surat yang isinya kamera bisa kami bawa. Namun untuk Aviwest, mereka masih menunggu konfirmasi dari pemerintah Arab Saudi di Riyadh," kata wartawan itu.
Kedua wartawan itu mengaku lega, untuk sementara, dengan kondisi ini. Minimal, kamera seharga Rp 60 jutaan untuk bekerja sudah dipegang. Tim redaksi di Jakarta juga sudah memahami dan terus mendukung. Namun mereka masih 'berharap-harap cemas' karena Aviwest belum juga kembali.
"Sementara ini kami menggunakan aplikasi Mirial dan Skype untuk siaran langsung. Yah, mau bagaimana lagi. Kualitasnya tentu di bawah Aviwest. Semoga pemerintah Saudi segera mengizinkan kami membawa alat yang sangat kami butuhkan itu," katanya. Hingga Kamis (11/9/2014) malam waktu Saudi, Aviwest belum juga dikembalikan.
Tentang e-passport, Ketua Panitia Penyelenggaraan Ibadah Haji Indonesia Ahmad Jauhari, kepada tim Media Center Haji (MCH) Jeddah, mengatakan sistem ini akan mampu memangkas durasi waktu di bandara. (Kholish Cered)