TRIBUNNEWS.COM - Vatikan akan merayakan 50 tahun Nostra Aetate (Pada Jaman Kita-red), satu dari 16 dokumen independen dan normatip dari Konsili Vatikan II yang ditandatangani oleh Paus Paulus VI, pada saat-saat menjelang penutupan Konsili.
Dokumen tersebut berisi manifestasi sikap keterbukaan Gereja Katolik dalam membangun dan sekaligus memperkokoh hubungan umat Katolik dan pemeluk-pemeluk agama Non-Kristen.
Perayaan pesta emas itu sendiri dibentuk dalam kemasan momentum kenangan, syukur dan pembaruan komitmen. Demikian diungkapan Pastor Markus Solo Kewuta SVD dari Dewan Kepausan untuk Dialog Antar Umat Beragama (Pontifical Council for Interreligious Dialogue), Vatikan, Kamis (22/10/2015).
Acara yang akan berlangsung dari tanggal 26 – 28 Oktober ini akan dihadiri para tokoh dan pemimpin agama dari berbagai belahan bumi, juga para peserta dari berbagai kalangan, termasuk dua dari Indonesia yakni Hermawi Taslim Ketua FORKOMA PMKRI (Forum Komunikasi Alumni Perhimpunan Mahasiswa Katolik Indonesia) dan AM Putut Prabantoro, Ketua Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa).
Menurut Markus Solo, ada tiga tema besar yang menjadi bahasan dalam perayaan tersebut yakni dialog agama sebagai pelayanan terhadap manusia, kekerasan dan peran agama Untuk perdamaian, dan tantangan terhadap kebebasan beragama.
Pada akhir selebrasi 50 tahun Nostra Aetate, para peserta akan bertatap muka dengan Paus Fransiskus dalam acara audiensi umum di Lapangan Santo Petrus.
“Pada intinya, peringatan 50 tahun Nostra Aetate itu merupakan momentum kenangan, ucapan syukur dan pembaruan komitmen. Perayaan tersebut akan ditutup dengan diskusi roundtable lintas agama yang menjawab pertanyaan bagaimana mentransmisi nilai-nilai luhur kemanusiaan dan pentingnya peranan pendidikan demi pendewasaan manusia serta tegaknya dialog antar umat beragama dan perdamaian,” ujar Pastor Markus Solo.
Mendiang Paus Paulus VI dalam dokumen Nostra Aetate yang dikeluarkan dalam Konsili Vatikan Kedua menyatakan bahwa, seluruh agama diminta untuk saling memahami dan berupaya bersama-sama membela dan mengembangkan keadilan sosial bagi semua orang, nilai-nilai moral maupun perdamaian dan kebebasan.
Dan nilai-nilai luhur yang disepakati 50 tahun lalu kini dihayati dan dimajukan oleh Gereja Katolik hingga ke pelosok-pelosok dunia.
Dalam konteks ini, Gereja mengecam setiap bentuk diskriminasi ataupun penganiayaan berdasarkan keturunan, warna kulit, kondisi hidup dan agama karena hal itu bertentangan dengan semangat Kristus.
Mengikuti jejak semangat Rasul Petrus dan Paulus, Konsili Vatikan II dengan sangat meminta kepada umat beriman Kristiani, supaya bila ini mungkin “memelihara cara hidup yang baik di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi dan sejauh tergantung dari mereka, hidup dalam damai dengan semua orang.
Nostra Aetate adalah ajaran Gereja yang berkekuatan normatif serta mengikat, baik pada tatanan kognitif maupun pada tatanan praktis.
Sekalipun merupakan sebuah dokumen yang independen, Nostra Aetate memiliki hubungan atau korelasi internal dengan dua dokumen konsili Vatikan Kedua lainnya yakni Dignitatis Humanae (Pernyataan Tentang Kebebasan Beragama) dan Lumen Gentium (Ksontitusli Dogmatis tentang Gereja).
Salah satu tokoh yang berperan dalam Nostra Aetate adalah P. Georges Chehata Anawati OP, pastor kelahiran Alexandria, Mesir yang menghabiskan hidupnya di antara dunia Islam dan Katolik.
Dokumen Nostra Aetate disetujui oleh para Uskup dalam sebuah pemungutan suara 2.221 suara berbanding 88 dan diresmikan oleh Paus Paulus VI pada 28 Oktober 1965.