‘Pembersihan seksual’ dengan seorang hyena adalah tahapan terakhir proses ini, disusun dengan sukarela oleh para orangtua.
Fagisi, Chrissie, dan Phelia memaparkan, tradisi pembersihan ini diperlukan ‘agar orangtua dan komunitas mereka tak terjangkit penyakit’.
Padahal, terdapat risiko penyebaran penyakit menular berbahaya dalam pelaksanaan ritual ‘pembersihan’.
Sesuai adat, hubungan seksual dengan para hyena tidak boleh melibatkan penggunaan kondom. Terkait hal ini, ketiga perempuan itu berkata, seorang hyena dipilih karena moralnya baik sehingga tidak mungkin terinfeksi HIV/Aids.
Jelas sekali, dengan tugas-tugas seorang hyena, HIV adalah risiko besar untuk suatu komunitas. Menurut estimasi PBB, satu di antara 10 penduduk Malawi tertular virus HIV.
Dan sangat mengejutkan saat Aniva mengaku dia positif HIV. Hal yang paling mengerikan adalah dia tidak menyebutkan kondisi ini ke orangtua gadis yang harus dia "bersihkan".Saat pembicaraan berlanjut dan Aniva tak melihat kisahnya membuat kagum, dia berhenti menyombongkan diri dan mengaku sudah mengurangi "pembersihan" dibanding sebelumnya.
“Saya kadang-kadang masih melakukan ritual,” dia mengaku. Kemudian dia berkata, “Saya berhenti sekarang.”
Semua yang terlibat di ritual ini sadar bahwa adat ini dikutuk pihak luar, bukan saja gereja, tetapi juga oleh LSM dan pemerintah.
Pemerintah Malawi bahkan telah meluncurkan kampanye menentang tradisi yang disebut sebagai "praktik-praktik budaya yang berbahaya”.
"Kami tidak akan mengutuk orang-orangnya," kata Dr May Shaba, sekretaris Kementerian Gender dan Kesejahteraaan. "Namun, kami akan memberikan mereka informasi yang mereka butuhkan untuk mengubah ritual mereka.”
Pra orangtua yang lebih berpendidikan mungkin sudah memilih untuk tidak mempekerjakan seorang hyena. Namun, para perempuan tetua adat tetap menentang ditinggalkannya tradisi ini.
"Tidak ada yang salah dengan budaya kami," Chrissie berkata.
"Jika Anda melihat masyarakat saat ini, Anda melihat anak-anak gadis tidak bertanggung jawab, jadi kami harus melatih anak-anak gadis kami kelakuan yang baik di kampung sehingga mereka tidak melenceng, menjadi istri yang baik sehingga suaminya puas. Dengan demikian, tidak ada hal buruk yang terjadi ke keluarga mereka,“ kata dia.
Menurut Claude Boucher, seorang pastor Katolik keturunan Perancis yang tinggal di Malawi selama 50 tahun yang juga berprofesi sebagai antropolog, ritual ini sudah ada sejak beberapa abad lalu.