News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Menakjubkan, Suku-suku Ini Tersembunyi di Tengah Hutan dan Marah Saat Diabadikan

Editor: Rendy Sadikin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Foto terbaru ini diambil pemerintah Brasil dengan menggunakan pesawat untuk menginvestigasi jumlah penambang liar di kawasan itu.

TRIBUNNEWS.COM, BRASILIA - Serangkaian foto menakjubkan yang menampilkan permukiman sebuah suku terasing di tengah hutan Amazon.

Foto yang diambil dari udara itu memperlihatkan sekelompok orang dalam sebuah sistem masyarakat yang disebut "yano" di wilayah suku Yanomami di wilayah utara Brasil, tak jauh dari perbatasan dengan Venezuela.

Dalam foto itu terlihat belasan atap jerami dibangun melingkar dengan lapangan kosong di tengahnya.

Setiap atap jerami itu diyakini merupakan kediaman satu keluarga serta tempat mereka tidur, menyalakan api, dan menyimpan makanan.

Masyarakat Yanomani yang terisolasi, beberapa di antara mereka pernah menghubungi dunia luar, secara kolektif berjumlah 35.000 orang.

Masyarakat terpencil ini masih menggantungkan hidup mereka dari berburu dan meramu hewan serta tanaman yang mereka temukan di dalam hutan.

Suku ini diyakini menggunakan 500 jenis tanaman untuk berbagai keperluan. Dan pengetahuan mereka yang dikembangkan selama ribuan tahun digambarkan sebagai "tak tergantikan".

Hal ini disampaikan Survival International, sebuah lembaga non-pemerintah yang memperjuangkan hak-hak suku terasing.

Namun, komunitas yang diduga terdiri dari 100 orang yang baru saja diambil fotonya terancam masa depannya akibat pejarahan emas ilegal yang berada tak jauh dari desa itu.

Secara resmi, wilayah suku Yanomami, yang meliputi kawasan seluas 9,6 juta hektar, dilindung pemerintah Brasil.

Sebab, orang luar, khususnya para geng kriminal, membawa ancaman kekerasan, kerusakan lingkungan, dan berbagai penyakit seperti malaria.

Penyakit semacam malaria sangat berbahaya bagi anggota suku pedalaman seperti ini karena mereka tubuh mereka tak memiliki kekebalan untuk melawan penyakit "impor" itu.

Menurut seorang veteran aktivis Yanomami, Davi Kopenawa, para petambang liar tak ubahnya seperti serangga yang selalu kembali dan tak membiarkan warga pedalaman hidup damai.

"Lokasi tempat suku terasing hidup, mencari ikan, berburu, dan bercocok tanam harus dilindungi," ujar Kopenawa.

"Seluruh dunia harus tahu bahwa mereka tinggal di hutan milik mereka, dan pemerintah harus menghormati hak mereka untuk tiggal di dalam hutan," tambah dia.

Survival International menentang, kemungkinan membuka hubungan dunia luar dengan warga pedalaman.

Mereka mengatakan, warga pedalaman melepaskan panah ke arah pesawat terbang yang melintas, kabur dari orang luar, dan menghindari anggota suku yang sudah pernah berhubungan dengan dunia luar.

Organisasi ini bersikukuh jika harus berhubungan dengan dunia luar maka itu harus merupakan keputusan suku-suku pedalaman.

Namun, sekitar 1.000 orang penambang emas saat ini berada hanya sejauh 35 kilometer dari komunitas itu.

Foto terbaru ini diambil pemerintah dengan menggunakan pesawat untuk menginvestigasi jumlah penambang liar di kawasan itu.

Lokasi pasti komunitas ini dirahasiakan untuk melindungi warga suku terpencil tersebut.

Sebelumnya, kontak antara suku Yanomam dan dunia luar berakhir dengan pertumpahan darah.

Pada 1993, setahun setelah penetapan wilayah Yanomami, 16 warga pedalaman termasuk seorang bayi dibunuh di desa Hamixu oleh para penambang liar.

Setelah insiden itu tercatat beberapa kali peristiwa para penambang liar menyerang warga pedalaman.

Selain itu, operasi penambangan liar menyebabkan kadar merkuri di dalam air sangat tinggi sehingga meracuni warga suku Yanomami dan Yekuana di Amazon.

Para aktivis pejuang hak-hak suku Yanomami menyerukan agar pemerintah menghasilkan kebijakan yang lebih baik untuk warga pedalaman ini.

Namun, pemangkasan anggaran dan perselisihan di tubuh pemerintah Brasil melemahkan perlindungan terhadap suku Yanomami dan suku-suku lain di pedalaman Amazon.

KOMPAS.com/Ervan Hardoko

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini