TRIBUNNEWS.COM, MANILA - Seorang politisi lokal di Filipina telah ditangkap, sementara beberapa lainnya masih diburu.
Mereka menghadapi masalah hukum karena dituduh memberikan dukungan kepada kelompok pemberontak Islam yang sedang melakukan perlawanan bersenjata di Marawi.
Hampir 200 orang dilaporkan tewas sejak para pendukung kelompok teroris itu mengibar-ngibarkan bendera hitam milik Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS) pada 23 Mei lalu.
Insiden itu menandai perlawanan besar-besaran mereka Marawi, yang adalah kota berpenduduk Muslim terbesar di negara yang didominasi warga Katolik tersebut.
Di saat banyak pihak menitikberatkan perhatian kepada ratusan orang bersenjata yang terlibat dalam perlawanan itu, muncul dugaan mengejutkan lainnya.
Disebutkan, kelompok teroris tersebut mendapat dukungan dari sejumlah politisi dan penduduk setempat.
"Ini adalah kombinasi dari sejumlah politisi, warga negara sipil, dan anggota Maute, dan para pemimpinnya," kata Panglima Militer Filipina, Jenderal Eduardo Ano.
Kalimat itu diungkapkan Ano dalam wawancara dengan jaringan televisi ABS-CBN, Kamis (8/6/2017), yang dikutip AFP.
Saat itu, Ano sedang mendiskusikan daftar berisi sekitar 200 orang yang dicari karena diduga membantu para teroris bersenjata tersebut.
Maute adalah salah satu kelompok militan utama yang dinamai sama dengan nama keluarga dua laki-laki bersaudara, yang berasal dari daerah itu.
Menurut Ano, pihak militer masih meyakini kedunya masih berada di wilayah Marawi, di antara warga yang bersembunyi, dengan perlindungan "perisai manusia".
Militer mengaku mendapatkan perkembangan yang signifikan, di mana mantan Wali Kota Marawi, Fahad Salic ditangkap atas tuduhan pemberontakan, Rabu kemarin, di bagian lain Filipina Selatan.
"Bahkan sebelum krisis Marawi, ada laporan bahwa dia adalah pendukung setia, dia menyediakan logistik, dan keuangan selama tahun-tahun untuk kelompok Maute-ISIS ini."
Hal itu dikatakan Jurubicara militer wilayah setempat, Brigadir Jenderal Gilbert Gapay.
Pihak militer juga memuji penangkapan Cayamora Maute, ayah Maute bersaudara di Kota Davao selatan, kampung halaman Presiden Rodrigo Duterte, sekitar 190 kilometer dari Marawi.
"Sebagai patriarkat dari suku Maute, Cayamora Maute dianggap sebagai salah satu otak kelompok teroris Maute-ISIS," kata Gapay.
Orangtua Maute dibawa ke Manila, lebih dari 800 kilometer dari Marawi, Kamis.
Hal itu dilakukan karena ada dugaan para teroris akan mencoba melepaskan dia dari penjara di wilayah selatan.
Seperti yang telah diberitakan sebelumnya, kerusuhan tersebut mendorong Duterte untuk mengumumkan keadaan darurat militer di seluruh wilayah selatan Mindanao.
Mindanao telah dilanda pemberontakan separatis Muslim selama beberapa dekade. Tak kurang dari 120.000 orang tewas dalam pemberontakan tersebut.
Kini, organisasi pemberontak yang utama berusaha untuk menjadi perantara kesepakatan damai dengan pemerintah.
Namun, kelompok Maute dan kelompok garis keras kecil lainnya tidak tertarik pada perdamaian.
Dalam beberapa tahun terakhir, mereka justru berusaha untuk bersatu di bawah bendera teroris ISIS.
Berita ini sudah dimuat di Kompas.com dengan judul: Panglima Militer Filipina: Kelompok Maute di Marawi Disokong Politisi