Junta militer yang menguasai Thailand telah menutup akses aksi unjuk rasa sejak saat itu, menekan semua perbedaan pendapat dan melarang pertemuan-pertemuan politik lebih dari lima orang.
Seteah lama ditunggu-tunggu keputusan nasib Yingluck datang dan kembali menghidupkan ketegangan.
Takut potensi kerusuhan, pihak berwenang mencoba untuk mencegahnya hari ini, Jumat (25/8/2017) melalui kebijakan kontroversial mengancam tindakan hukum terhadap siapa pun berencana untuk membantu transportasi pendukung Yingluck.
Yingluck juga memposting pesan di halaman Facebook-nya mendesak pengikut untuk menjauh dan tidak turun berdemonstrasi, karena dia khawatir tentang keselamatan para pendukungnya.
Ribuan warga pun berbondong-bondong turun ke jalan ke pengadilan Bangkok, meskipun ribuan polisi mendirikan barikade di sekitar pengadilan.
Prawit Pongkunnut, seorang petani berusia 55 dari kota Timur Laut Nakhon Ratchasima, mengatakan ia datang dengan 10 petani lain untuk menunjukkan solidaritas dengan Yingluck.
"Kita berada di sini untuk memberikan dukungan moral karena dia benar-benar peduli dan membantu kami keluar dari kemiskinan," kata Prawit.
Beras subsidi, janji untuk petani selama pemilu 2011, membantu Yingluck dan Partainya berhasil membawanya ke kekuasaan.
Saat berkuasa, Pemerintahan Yingluck memberi subsidi untuk petani dengan cara membeli hasil pertanian dua kali lipat lebih mahal dari harga pasar.
Berdasarkan skema inilah, jutaan dollar AS dikucurkan ke daerah-daerah pertanian di wilayah utara dan timur laut Thailand, yang merupakan basis pendukung keluarga Shinawatra.
Namun, kebijakan itu mengakibatkan menumpuknya persediaan beras karena pasar enggan membeli beras Thailand.
Alhasil, predikat Thailand sebagai negara pengekspor beras terbesar di dunia tergeser.
Perempuan pertama yang menjadi Perdana Menteri Thailand itu menyatakan kasus yang menjeratnya sepenuhnya berlatar belakang politik.
Dia merasa kasus itu diangkat untuk menyerang keluarganya termasuk kakak kandungnya mantan PM Thaksin Shinawatra.