Setelah enam dekade kontroversi dan penentangan, Bendungan Sardar Sarovar di Negara Bagian Gujarat, India, akhirnya diresmikan. Ini adalah bendungan terbesar kedua di dunia, yang menyediakan air dan tenaga listrik bagi jutaan orang di tiga negara bagian yang kering.
Tapi bendungan itu juga akan menenggelamkan 192 desa di sekitarnya. Masyarakat lokal pun saling bergandengan tangan dan melakukan demonstrasi berbahaya. Tujuannya untuk menyelamatkan rumah mereka.
Berikut kisah lengkapnya seperti dilansir dari Program Asia Calling produksi Kantor Berita Radio (KBR).
“Bank Dunia mengatakan proyek ini akan menghancurkan lingkungan. Kami memutuskan untuk membangun bendungan ini dengan keringat dan darah dan hari ini kami berhasil membangunnya,” ini Perdana Menteri India, Narendra Modi, saat peresmian Bendungan Sardar Sarovar pada 17 September lalu.
Sudah lebih dari 55 tahun sejak batu fondasi proyek ini diletakkan oleh Perdana Menteri pertama India, Jawaharlal Nehru, pada 1961. Sejak itu, bendungan ini menghadapi penentangan dan kontroversi.
“Proyek ini dirancang dan diselesaikan. Tapi proyek ini menghadapi penentangan yang luar biasa. Orang-orang dan organisasi dari seluruh dunia mencoba menghalagi dan menghentikannya. Seperti Bank Dunia yang menolak mendanai Bendungan Sardar Sarovar ini,” kata Modi.
Bank Dunia menawarkan pinjaman sebesar enam triliun rupiah untuk pembangunan bendungan itu. Tapi bantuan ini ditarik tahun 1993 setelah demonstrasi lingkungan yang berlangsung cukup lama. Namun India tetap mendorong proyek ini.
Pembangunan bendungan itu menenggelamkan 10 ribu hektar hutan dan 30 ribu hektar lahan pertanian. Dan mengancam akan menenggelamkan ratusan desa.
Harinder Patidar, 48 tahun, dari Desa Nisarpura telah hidup di bawah bayang-bayang bendungan ini sepanjang hidupnya.
“Ketika saya tumbuh dewasa, saya dengar tanah kami akan terendam dan kami harus pergi. Sekarang anak-anak saya sudah dewasa dan kami tidak punya ketidakpastian tentang masa depan. Rasa sakit akibat penggusuran sudah menghantui kami. Ada 75 sampai 100 desa di daerah saya yang bisa tenggelam.”
Meski sudah dibuka, bendungan belum terisi penuh. Tapi seiring naiknya permukaan air, desa-desa sekitar pun mulai banjir. Jika bendungan terisi, 192 desa akan tenggelam.
Aktivis Medha Patkar telah berjuang menentang Bendungan Sardar Sarovar sejak 1985. Dia memimpin Kampanye Selamatkan Narmada (NBA).
“Lima puluh persen kanal Sardar Sarovar belum selesai. 40 ribu keluarga di daerah terendam belum dipindahkan. Bagaimana Anda bisa mengatakan bendungan ini telah selesai? Sebuah bendungan bukan hanya dinding,” kata Patkar.
Medha Patkar mengklaim bendungan itu dibuka lebih awal sebagai upaya meraih suara menjelang pemilu di Negara Bagian Gujarat. Sardar Sarovar adalah proyek terbesar dari 30 proyek irigasi dan pembangkit listrik tenaga air yang sedang dibangun di Sungai Narmada.
Bendungan itu diharapkan bisa mengairi lebih dari 1,8 juta hektar lahan, terutama di derah rawan kekeringan di Rajasthan dan Maharashtra. Ini juga akan menyediakan air minum untuk hampir 10 ribu desa dan 131 pusat kota, dan menghasilkan listrik lebih dari 1.400 megawatt setiap tahunnya.
Perdana Menteri Modi meresmikan bendungan itu dan mendedikasikannya untuk negara ini. Tapi masyarakat yang tinggal di daerah itu jauh dari bahagia.
Mereka telah melakukan demonstrasi selama puluhan tahun,mulai dari mogok makan hingga aksi duduk. Saat ini mereka sedang melakukan demonstrasi berbahaya yang dikenal dengan Jal Satyagraha atau perjuangan dalam air. Mereka duduk dalam genangan air setinggi bahu.
“Orang-orang di lembah Narmada menolak untuk pergi tanpa kompensasi penuh dan pemukiman kembali. Mereka sudah bertekad akan menghadapi banjir tapi tidak akan menyerah. Mereka akan melakukan Jal Satyagraha atau perjuangan dalam air dan memperjuangkan kebenaran. Kami menginginkan pembangunan bukan kehancuran. Kami akan berjuang dan menang,” tekad Patkar
Sebagian besar yang terdampak oleh bendungan ini adalah petani dan Adivasi atau masyarakat adat. Mereka diminta mengosongkan rumah dan pindah ke tempat penampungan sementara yang disediakan oleh pemerintah negara bagian. Tapi mereka menolak untuk meninggalkan tanah, mata pencaharian dan rumah mereka.
Chandra Shekhar adalah salah satu dari yang tetap tinggal meski desanya Sudol mulai tenggelam.
“Kami kehilangan tanah dan mata pencaharian dan tidak mendapat kompensasi yang memadai. Tempat penampungan itu tidak punya fasilitas dasar. Kami harus mengeluarkan uang sekitar dua ratus juta rupiah untuk membangun rumah. Tapi kompensasi yang diberikan tidak setara. Kami hanya mau pindah ke tempat yang punya fasilitas dan sumber penghidupan,” tutur Shekhar.
Seiring bendungan perlahan terisi, penduduk desa masih menunggu kompensasi yang dijanjikan dan tawaran pemukiman kembali.