TRIBUNNEWS.COM, NAYPYIDAW-- Paus Fransiskus menegaskan rekonsiliasi atas konflik sipil di Myanmar hanya bisa berlangsung melalui komitmen menghormati hak asasi manusia.
"Proses sulit rekonsiliasi nasional hanya dapat maju melalui komitmen untuk keadilan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia," tegas Fransiskus usai bertemu pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi.
"Perbedaan agama tidak perlu menjadi sumber perpecahan dan ketidakpercayaan, tapi menjadi kekuatan kesatuan, pengampunan, toleransi dan kebijakan membangun bangsa ," imbuh Paus lebih lanjut.
Kunjungan Paus ke Myanmar datang setelah terjadi gelombang eksodus lebih 620.000 warga Rohingya dari negara bagian Rakhine ke ujung selatan Bangladesh. Ini terjadi setelah terjadi tindakan kerasan militer.
Baca: Pemprov DKI Jakarta Akui Kurang Sosialisasi Soal Dana Hibah Tempat Ibadah
Kunjungan kali ini akan menjadi lawatan pertama Paus Fransiskus ke Myanmar, yang mayoritas penduduknya menganut ajaran Budha.
Paus Yohanes Paulus II pernah mengunjungi Bangladesh, yang mayoritas penduduknya Muslim, pada 1986.
Kunjungan paus ke Myanmar berlangsung pada saat sangat penting. Ketegangan sedang berlangsung antara para penganut ajaran Budha dan kelompok minoritas Muslim Rohingya.
Militer bahkan sempat sempat terlibat bentrokan sengit dengan para pemberontak Rohingya.
Para aktivis Rohingya mengatakan militer menyerang desa-desa Rohingya sehingga membuat ribuan orang terpaksa mengungsi.
Baca: Jokowi Apresiasi Peningkatan Investasi Denmark ke Indonesia
Prasangka buruk terhadap Rohingya menyebar luas di Myanmar dan telah berlangsung lama.
Prasangka tersebut melatarbelakangi kekerasan-kekerasan sebelumnya yang berskala besar.
Ada sekitar 1 juta warga Rohingya di negara bagian Rakhine, namun mereka diperlakukan seperti imigran ilegal dari Bangladesh dan ditolak hak kewarganegraan mereka.