Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, MYANMAR - Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) akan mengirimkan staf mereka untuk mengunjungi negara bagian Rakhine, Myanmar.
Hal itu dilakukan sebagai langkah pertama jelang pemulangan 700 ribu pengungsi yang melarikan diri ke Bangladesh.
Sekira 700 ribu etnis muslim Rohingya telah melarikan diri ke kamp-kamp kumuh di negara tetangga mereka, Bangladesh sejak Agustus 2017 lalu karena aksi kekerasan yang dilakukan militer Myanmar.
Baca: Israel dan Myanmar Tandatangani Kesepakatan Koreksi Buku Sejarah Masing-masing
Saat itu pasukan Myanmar memimpin penindasan yang dilakukan secara sangat kejam menyusul serangan pemberontak yang terjadi di pos-pos keamanan.
Dilansir dari laman The Guardian, Jumat (1/6/2018), Myanmar dan Bangladesh setuju untuk memulangkan ratusan ribu etnis Rohingya pada November mendatang.
Baca: Duterte Akan Lakukan Kunjungan Perdana Ke Korea Selatan
Kendati demikian, para pengungsi tersebut menyatakan kekhawatiran mereka lantaran merasa dipaksa kembali menghadapi kondisi yang tidak aman di Myanmar.
Mereka khawatir akan kembali mengalami kekerasan jika proses pemulangan itu tidak diawasi oleh kelompok bantuan internasional.
Pemerintah Myanmar mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa mereka telah memulai nota kesepahaman dengan PBB dan lembaga bantuan, sehingga orang yang terverifikasi dapat kembali secara sukarela ke Myanmar secara aman dan bermartabat.
PBB menyampaikan dalam sebuah pernyataan terpisah, kondisi di Myanmar saat ini belum tepat untuk mengembalikan para pengungsi.
Baca: Polisi Malaysia Ringkus 15 Terduga Teroris yang Berencana Menyerang Pada Saat Pemilu
Namun perjanjian dengan Myanmar itu akan mendukung upaya pemerintah negara tersebut untuk memperbaiki situasi.
Dikatakan bahwa perjanjian yang diharapkan akan ditandatangani secara resmi dalam waktu satu minggu itu, akan menyediakan kerangkan kerja bagi kedua lembaga tersebut, yakni PBB dan satu lembaga lainnya.
Kerangka kerja itu dianggap perlu agar kedua lembaga itu bisa diberikan akses masuk ke negara bagian Rakhine, yang sebelumnya tidak diizinkan sejak kekerasan terjadi pada Agustus 2017.
Jika diizinkan masuk, itu akan memungkinkan staf PBB untuk menilai situasi dan memberikan informasi kepada para pengungsi tentang kondisi terkini di tempat asal mereka.
Hal itu untuk membantu para pengungsi itu agar bisa memutuskan terkait mau atau tidaknya mereka kembali ke kampung halaman di Rakhine.
Sejak peristiwa kekerasan di negara bagian Rakhine itu, pasukan keamanan Myanmar telah menghadapi tuduhan melakukan pemerkosaan, pembunuhan, penyiksaan dan pembakaran terhadap rumah-rumah penduduk di desa yang dihuni etnis Rohingya.
PBB dan Amerika Serikat pun telah menggambarkan tindakan keras militer Myanmar itu sebagai 'pembersihan etnis'.
Myanmar mengatakan pihaknya hanya akan mengizinkan pengungsi yang memiliki dokumen, atau setidaknya mengantongi identitas untuk bisa kembali ke Rakhine.
Keberadaan etnis Rohingya selama ini memang tidak mendapatkan pengakuan dari mayoritas masyarakat di negara tersebut, bahkan mereka tidak dianggap sebagai bagian dari etnis pribumi Myanmar.