TRIBUNNEWS.COM - Kematian relawan medis perempuan Palestina Razan Al-Najjar setelah ditembak oleh penembak runduk (sniper) Israel di Jalur Gaza, Palestina, ramai diperbincangkan.
Hampir semua mengutuk tindakan keji tentara Israel terhadap Najjar.
Apalagi, Najjar yang baru berusia 21 tahun tersebut ditembak saat sedang menolong seorang demonstran yang terluka di Khan Younes.
"Namun, mereka tetap menembaknya," ujar salah seorang saksi mata.
Selain Najjar ada empat paramedis lain yang dilaporkan mengalami luka-luka saat unjuk rasa berlangsung, Jumat (1/6/2018).
"Aksi pasukan Israel merupakan bentuk pelanggaran langsung konvensi internasional," kecam Awwad seperti dilansir Russian Today.
Sementara Menteri Kehakiman Palestina, Ali Abu Diak, mendesak agar Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) mengambil tindakan.
Kematian Najjar yang merupakan seorang paramedis di medan perang akibat tembakan dari tentara Israel secara jelas telah melanggar Konvensi Jenewa tahun 1949.
Sebab, salah satu poin penting dalam konvensi tersebut adalah bahwa paramedis mendapat perlindungan ketika berusaha menyelamatkan mereka yang terluka dalam konflik.
Apalagi, Najjar secara jelas menggunakan seragam putih paramedis serta mengangkat tangannya saat akan menyelematkan salah seorang demonstran.
Sebab, sampai saat ini, hanya ada dua jenis hukuman untuk penjahat perang: hukuman seumur hidup atau hukuman mati. (Intisari/Ade Sulaiman)
Artikel ini sudah tayang di Intisari dengan judul 'Bermodal' Hukum tentang Kejahatan Perang, Penembak Razan Al-Najjar Bisa 'Diseret' ke Tiang Gantungan