TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lewat rangkaian surat dari wartawan Afrika, Zeinab Mohammed Salih kali ini mengkaji siapa di balik serangkaian protes di Sudan yang mengancam kekuasaan Presiden Omar al-Bashir yang telah berlangsung selama 30 tahun.
Berikut tulisan selengkapnya yang ditulis oleh Zeinab Mohammed Salih:
Banyak orang di Sudan sekarang lebih suka menyimpan uang mereka di bawah kasur daripada di bank.
Jika penduduk menabung di bank, dananya akan sulit diambil dari ATM karena sering kali kosong.
Pada anjungan pengambilan uang yang dananya masih ada, sering kali terjadi antrean panjang di ibu kota, Khartoum.
Warga juga antre untuk mendapatkan roti.
Saat kembali dari tempat kerja pada larut malam, sering kali saya harus menunggu selama satu jam antri di toko roti sebelum diberitahu makanan tersebut sudah habis.
Baca: Anggota Komisi III DPR Minta WNI di Sudan Dilindungi
Makanan lain menjadi mahal harganya bagi kebanyakan orang di ibu kota.
Kacang fava atau fuul dipandang sebagai makanan pokok di sini dan dapat ditemukan di setiap toko. Tetapi toko yang paling dekat tempat tinggal saya sekarang telah berhenti menjualnya karena kebanyakan orang tidak mampu membelinya, kata pemiliknya.
Pemotongan subsidi
Berbagai masalah bersumber dari usaha pemerintah untuk mencegah ambruknya ekonomi lewat langkah penghematan darurat dan devaluasi mata uang secara drastis.
Pada bulan Desember satu dolar Amerika (Rp14.000) sama dengan 76 pound Sudan di pasar gelap, sementara enam bulan lalu nilainya adalah kurang dari 40 pound Sudan.
Harga-harga juga melonjak. Tingkat inflasi tahunan mencapai 68% pada bulan November dibandingkan setahun lalu yang setinggi 25%.