TRIBUNNEWS.COM - Selandia Baru dikenal sebagai negara yang relatif aman dan damai sampai terjadinya peristiwa aksi teror penembakan di dua masjid di Kota Christchurch, Jumat (15/3/2019) siang waktu setempat.
Dalam aksi brutal tersebut, terdapat 49 korban tewas dan puluhan lainnya luka-luka.
Pelaku teror penembakan, Brenton Tarrant, disebut memiliki lisensi kepemilikan senjata pada November 2017 dan mulai membeli senjata secara legal pada Desember 2017, mengutip laman cnn.com.
Melihat fakta ini, Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern mengatakan, "Undang-undang (UU) senjata kami akan berubah," pada Sabtu (16/3/2019) pagi waktu setempat.
Dalam konferensi pers, Jacinda mengungkapkan ada lima senjata yang digunakan oleh pelaku utama teror.
"Ada dua senjata semi otomatis dan dua senapan gentel. Pelaku memiliki lisensi kepemilikan senjata. Saya diberitahu (lisensi) itu didapat pada November 2017. Serta ditemukan sebuah senapan tipe lever action."
"Sementara berbagai upaya dilakukan terkait serangkaian kejadian yang mengarah pada pemberian lisensi senjata dan kepemilikan senjata ini, saya bisa mengatakan, UU persenjataan kami akan berubah," kata Jacinda Ardern.
Selandia Baru dikenal sebagai negara yang adem ayem, tentu peristiwa teror penembakan brutal ini mencoreng citra negara tersebut.
Penembakan massal terakhir di Selandia Baru terjadi sekitar tiga dekade lalu.
Hingga Jumat (15/3/2019) kemarin, peristiwa pembantaian terbesar dalam sejarah Selandia Baru terjadi 30 tahun lalu, ketika seorang pria bernama David Gray mengamuk dan menewaskan 13 orang.