TRIBUNNEWS.COM,MADRID-Pejabat senior Sekretariat UNFCCC (Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim) Martin Frick mengingatkan emisi gas rumah kaca akibat aktivitas manusia atau anthropogenic terus meningkat.
Dampaknya, perubahan iklim yang dianggap masih bisa dikendalikan, kini benar-benar sudah terjadi.
Baca: Petani dan Nelayan Indonesia Diajari Cara Menyesuaikan Perubahan Iklim
“Meningkatnya kejadian bencana iklim seperti serangan gelombang panas, curah hujan ekstrim yang terus meningkat," katanya.
"Ini adalah bukti perubahan iklim sudah terjadi,” katanya saat menjadi pembicara di Paviliun Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim UNFCCC COP 25 di Madrid, Spanyol, Kamis (5/12/2019) waktu setempat.
Frick menyatakan, dampak perubahan iklim mengancam banyak negara kepulauan karena kenaikan muka air laut kini telah mencapai 7-8 meter dari sebelumnya.
Dirinya kemudian mengajak semua pihak mengambil aksi kongkret, mencegah bencana perubahan iklim semakin memburuk.
Baca: Wamen Alue Dohong Pastikan Komitmen Jokowi di Forum Perubahan Iklim Madrid, Spanyol
Menurut Frick, upaya pengendalian perubahan iklim tidak akan menghambat agenda SDGs. Bahkan, keduanya bisa berjalan beriringan.
“Membina petani untuk mengelola lahan pertanian dengan lebih lestari berarti bisa menambah cadangan air di dalam tanah, sekaligus meningkat produksi panen sehingga meningkatkan kesejahteraan," ujarnya.
"Pada saat yang sama langkah itu juga mendukung pemberdayaan perempuan,” katanya.
Baca: Indonesia Raya Menggema di Ajang COP 25 UNFCCC Madrid, Spanyol
Stefanos Fotiou, Direktur UN ESCAP, unit PBB di Asia Pasific yang mendorong praktik pembangunan berkelanjutan dalam kesempatan itu menyatakan, ada konvergensi dari masing-masing agenda global.
Dalam Persetujuan Paris (Paris Agreement) yang terkait pengendalian perubahan iklim, didorong pendanaan yang bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan peningkatan ketahanan iklim.
Sementara pada agenda SDGs, dirancang agar aktivitas perekonomian bisa inklusif dan memberi manfaat pada lebih banyak orang (shared value) dengan tetap mempertahan kelestarian.
Proses negosiasi UNFCCC COP 25 di Madrid mendorong mekanisme kesepakatan pendanaan perubahan iklim guna mempercepat pelaksanaan aksi tersebut di lapangan.
Aksi-aksi perubahan iklim tersebut dimaksudkan untuk menjamin terwujudnya upaya mempertahankan kualitas lingkungan, meningkatkan pertumbuhan ekonomi serts memperkuat kesejahteraan masyarakat
Menurut Fotiou, solusi dari tercapainya multi agenda global itu adalah pemanfaatan sumber daya alam seefisien mungkin.
Misalnya dengan mengubah pola konsumsi dan gaya hidup menjadi lebih ramah lingkungan.
Investasi juga diperlukan untuk mendukung infrastruktur rendah karbon
Kepala Pusat Standarisasi Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Noer Adi Wardojo menyatakan Indonesia terus mendorong pola konsumsi dan produksi berkelanjutan.
Langkah tersebut dilakukan lewat pendekatan sistemik dan operasional.
Secara sistemik, pemerintah Indonesia telah menerbitkan sejumlah ketentuan terkait pola konsumsi berkelanjutan.
Baca: Cak Imin: Indonesia,Time for Action
Misalnya tentang peredaran kayu legal, eco office, pengembangan standar produk ramah lingkungan, dan pengadaan barang/jasa ramah lingkungan di instansi pemerintah.
Secara operasional, penerapan pola konsumsi berkelanjutan diterapkan dari praktik yang sederhana.
“Misalnya dengan mengganti kantong belanja plastik sekali pakai dengan kantong yang bisa diguna ulang. Praktik ini sudah berhasil diterapkan di banyak tempat di Indonesia,” kata dia.
Mikiko Kainuma, peneliti senior Institute for Global Environment Strategies mengingatkan, ada trade off dari antar agenda pengendalian perubahan iklim dan SDGs.
Dirinya mencontohkan, penerapan pajak metana untuk aktvitas pertanian, bisa meningkatkan harga pangan yang tentu berdampak pada daya beli masyarakat.
Mikiko kemudian menyarankan, kebijakan yang diambil harus inklusif sehingga bisa mencapai target dari dua agenda global tersebut.